Urgensi Kedaulatan Teritori Digital

Urgensi Kedaulatan Teritori Digital

Ferdian Andi

 

DUGAAN kebocoran 4,7 juta data aparatur sipil negara (ASN) pada awal Agustus lalu menambah daftar sengakrut tata kelola digital di Indonesia. Sebelumnya, Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) juga diretas dan sempat lumpuh.

Situasi tersebut tak terlepas dari lemahnya desain kebijakan di sektor digital. Kegamangan desain kebijakan hukum di sektor digital terlihat dari ketidakmampuan regulasi memotret kebutuhan prioritas di sektor digital.

Misalnya, persoalan keamanan siber (cyber security) yang disederhanakan pada urusan pengadaan infrastruktur digital. Konsekuensinya, persoalan digital tak menjadi bagian penting dan fundamental yang berkorelasi dengan isu kedaulatan negara.

Unsur konstitutif kedaulatan negara, dalam perspektif ilmu kenegaraan, antara lain, adalah wilayah yang dimaknai sebagai darat, laut, dan udara. Hal itu merujuk pada konvensi di Montevideo, Uruguay, pada 1933. Dalam konteks tersebut, digital dengan ketergantungan manusia dan kompleksitas di dalamnya selayaknya dapat dikualifikasikan sebagai bagian penting dari wilayah negara.

Norma Mollers (2021) mendefinisikan teritori digital (digital territory) sebagai upaya nasionalisasi infrastruktur informasi dengan menyasar dua jalur, yakni material dan moral. Nasionalisasi material berarti seluruh perangkat infrastruktur informasi seperti server, kabel, dan satelit di bawah kendali negara. Nasionalisasi moral berarti menasionalisasi ide normatif tentang bangsa serta kewarganegaraan.

Nasionalisasi terhadap material dan moral atas digital secara bersamaan akan menempatkan digital dalam paradigma ketatanegaraan yang dimaknai sebagai bagian dari kedaulatan negara yang harus dijaga serta dipertahankan. Digital menjadi bagian tak terpisahkan dari aspek kedaulatan negara.

Penyertaan digital dalam arena diskursus ketatanegaraan telah menjadi perbincangan sejumlah sarjana lewat pelbagai pendekatan. Hal itu menandai kompleksitas keberadaan digital yang berkorelasi erat dengan tata kelola digital serta kedaulatan negara.

Para sarjana tersebut, antara lain, Laura Denardis (2014) dengan gagasan Digital Governance, Jammie Susskind (2022) melalui The Digital Republic, Francesca Musiani (2022) dengan gagasan Digital Sovereignty, serta Geovani de Gregorio (2022) dengan Digital Constitutionalism.

 

Ubah Paradigma

Satu dekade pemerintahan Presiden Joko Widodo belum menyentuh persoalan digital dalam paradigma kedaulatan negara. Bila parameternya pada kebijakan hukum (legal policy), kebijakan yang diterbitkan selama 10 tahun pemerintahan tak berkorelasi secara langsung dengan isu kedaulatan digital.

Meski, harus fair, dalam aturan terbaru melalui UU No 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), terdapat upaya ”nasionalisasi”. Hal tersebut dapat dilihat dalam pengaturan terhadap Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (PSrE) yang beroperasi di Indonesia yang harus berbadan hukum dan berdomisili di Indonesia, dikecualikan bagi penyelenggara layanan yang belum tersedia di Indonesia. Ketentuan itu tertuang dalam pasal 13 (ayat 3 dan 4) UU No 1 Tahun 2024. Ketentuan lama hanya mengatur ”PSrE Indonesia”.

Pada norma lain terdapat pula ikhtiar nasionalisasi dengan mewajibkan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) mengikuti hukum Indonesia dalam perkara kontrak elektronik internasional yang menggunakan klausul baku yang dibuat PSE. Norma itu diatur dalam pasal 18A ayat (1) UU No 1 Tahun 2024.

Dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2024 sebagaimana yang tertuang dalam Perpres No 52 Tahun 2023 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2024 serta UU No 19 Tahun 2023 tentang APBN 2024, pembahasan digital sebatas pada urusan transformasi digital semata. Lagi-lagi, perkaranya tak jauh dari persoalan infrastruktur digital.

Cara pandang pemerintah dalam menempatkan digital, sebagaimana yang terpotret melalui UU, RKP, serta APBN, tidak lain merupakan potret paradigma pemerintah yang menempatkan sektor digital baru sekadar ’’alat’’. Padahal, menghadapi kompleksitas masalah yang muncul di ranah digital, dibutuhkan pendekatan interdisipliner seperti politik, hukum, serta arsitektur jaringan digital.

Sudut pandang ini mesti dielaborasi lebih lanjut untuk ditransformasikan dalam bentuk kebijakan publik di sektor digital. Pelibatan para pakar lintas disiplin ilmu dan pemangku kepentingan di sektor ini niscaya segera dilakukan. Meski, catatannya, pilihan kebijakan yang ditempuh harus senantiasa didasari prinsip demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) di satu sisi serta berorientasi menjaga kedaulatan digital di sisi lain.

 

Pemerintahan Baru

Tantangan di sektor digital makin tak ringan. Sejumlah persoalan yang mengemuka di ruang publik harus direspons lebih solid, ajek, dan komprehensif. Baik melalui kebijakan hukum maupun penegakan hukum. Pemerintahan baru memiliki pekerjaan rumah untuk mendesain tata kelola digital agar lebih baik.

Dalam praktiknya, kebijakan di sektor digital baru sebatas pada transformasi digital secara artifisial dan pinggiran. Idealnya, kebijakan di sektor digital mampu mengombinasikan pendekatan politik, hukum, dan jaringan digital secara simultan, paralel, serta kolaboratif. Upaya itu bakal memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada warga negara di satu sisi dan menegakkan kedaulatan negara di sisi lain.

Jika ditarik pada persoalan makro, persoalan di sektor digital seperti judi online, perlindungan data pribadi, dan puncaknya soal keamanan digital sejatinya merupakan efek rapuhnya kedaulatan digital kita. Akibatnya, penyelesaian persoalan tidak menyentuh pokok masalah. Penyelesaian bersifat ad hoc. Persoalan yang sama sewaktuwaktu berpeluang muncul di kemudian hari.

Dalam konteks pemerintahan baru, gagasan hilirisasi digital yang disampaikan pasangan Prabowo-Gibran saat debat Pemilu Presiden 2024 lalu harus diformulasikan dan dikonsepsionalkan secara solid dan menyentuh pokok persoalan. Sektor digital harus ditempatkan sebagai bagian penting dalam persoalan kedaulatan negara.

Sengkarut tata kelola digital belakangan ini harus dijawab melalui rencana kerja pemerintah (RKP), program legislasi nasional (prolegnas), serta perangkat kebijakan lain yang didasari wawasan Nusantara yang berorientasi pada ketahanan dan integrasi nasional. Visi kedaulatan digital semestinya muncul dalam pemerintahan baru mendatang.

Pernyataan Andrew Keen dalam theguardian.com (23 Mei 2012) patut menjadi renungan bersama. Menurut dia, menjadi manusia di era digital tak lain adalah membangun digital untuk kemanusiaan: Being human in the digital world is about building a digital world for humans. (*)

 

Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Puskapkum. Artikelnya dimuat di laman Jawa Pos, Rabu 4 September 2024.