MEMANGKU jabatan direktur di tiga lembaga sekaligus, dosen tetap, dan mengasuh delapan orang anak, tentu bukan pekerjaan mudah. Apalagi untuk seorang perempuan. Butuh kekuatan, kecerdasan, dan kesabaran yang tak biasa. Itulah yang dijalani Dra. Farida Hamid, M.Pd (45) selama ini. Sejak 2003 lalu, wanita berkacamata ini dipercaya menjadi Direktur Madrasah Pembangunan (MP) dan memimpin dua lembaga non-struktural di UIN Jakarta yang berorientasi pada bidang pendidikan, yakni Center for Learning and Teaching Development (CLTD) serta Indonesian Center for Civic Education (ICCE).Dengan sederet tugas di atas, waktu kerja Farida jelas sangat padat. Tapi itu tak membuatnya melupakan keluarga.
Di temui di Kolam Renang Situ Gintung, Jumat sore pekan lalu, perempuan berdarah Betawi ini terlihat masih sibuk memencet tuts-tuts tombol keypad telepon genggamnya. Ia duduk di salah satu sawung yang berderet di tengah areal yang diapit kolam renang dan Situ Gintung. Di sebelahnya kelapa muda segar menyejukkan suasana yang sore itu masih terasa panas. Ia tampak mengawasi anak-anaknya yang sedang berenang. “Ini sudah kesepakatan saya dan suami, sesibuk apa pun saya harus menyempatkan diri untuk mereka,†tutur Farida kepada UINJKT Online.
Kesibukannya di dunia pendidikan memang menelan sebagian besar waktu sehari-harinya. Keluar rumah sebelum matahari menyorot tajam, ia langsung menuju MP, dua hari dalam seminggu ia juga mengajar di FITK, ia pun harus mengontrol dua lembaga non struktural yang dipimpinnya, ICCE dan CLTD. Belum lagi, sebagai fasilitator berbagai training pendidikan, tak jarang ia keluar kota untuk mengisi pelatihan atau seminar. Jadwal kerjanya sangat padat, tapi ia tetaplah seorang ibu bagi kedelapan putra-putrinya. Dua peran itu bisa ia jalani dengan sukses, apa kuncinya? Kesetaraan jender dalam keluarga, sehingga kami saling berbagi tugas, demikian tukas Farida. Dua puluh dua tahun silam Farida bukanlah siapa-siapa. Ia hanya seorang mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta yang lugu.
Seperti mahasiswa lainnya, ia melakoni kuliah dengan tekun. Tapi waktu yang telah lewat itu, memiliki arti yang mendalam. Sebab saat itulah paradigma berpikir Farida mulai berubah. Dan itu pula yang menjadi gerbang kesuksesannya kemudian. Sebuah tawaran mengajar dari salah satu SMP di Jakarta Selatan datang kepadanya. Saat itu ia tengah menginjak tingkat tiga, atau semester lima. Tawaran itu pun ia terima. Mulailah ia menjadi guru, yang berarti karirnya di dunia pendidikan telah ia pancangkan.Dua tahun pekerjaan sebagai guru SMP ia lakoni. Waktu yang relatif singkat itu, tak sia-sia bagi Farida. Sebab, berawal dari mengajar di tempat itulah cara berpikirnya berubah. Farida yang sebelumnya hanya mahasiswa biasa yang menjalani kuliah tak lebih sebagai kewajiban harian. Berubah perlahan menjadi semakin gandrung pada dunia pendidikan. “Saat itulah saya mulai menyadari dunia pendidikan itu mengasyikkan,†aku Farida.Praktis sebelum mengajar, Farida mengaku tak mengetahui ketertarikannya. Maklum, bungsu dari sembilan bersaudara ini tumbuh remaja dalam lingkungan keluarga Betawi yang sangat protektif.
Saat menginjak remaja, semua kakak perempuannya telah menikah, tinggallah ia sebagai satu-satunya anak perempuan di tengah dominasi kakak laki-laki. Sebagai perempuan, ketika itu ia tak punya banyak pilihan, semua disetir oleh kakaknya. “Masa remaja saya tidak merdeka, semua diintervensi abang-abang saya, termasuk pilihan kuliah,†kenangnya.Tapi setelah dijalani, ia pun menyadari ternyata pilihan kakaknya tepat. Di dunia pendidikan ia seperti menemukan jalan hidupnya. Benar, di dunia ini pun karirnya melambung. Selepas menggondol gelar sarjana tahun 1987, Farida langsung ditugaskan mengajar di almamaternya, Fakultas Tarbiyah. Tahun 1991 ia diangkat sebagai dosen tetap mengampu mata kuliah Structure. Seiring itu pula ia melanjutkan studi Strata Dua (S2) di Jurusan Teknologi Pendidikan, IKIP Jakarta (kini UNJ). “Kegiatan saya waktu itu nggak banyak, hanya mengajar dan mengasuh anak,†demikian terang Farida menceritakan masa awal mengajarnya yang tidak sesibuk kini.Selepas menyelesaikan pendidikan S2-nya, Farida kemudian melanjutkan ke jenjang doktoral di kampus yang sama.
Selain mengenyam pendidikan formal, Farida juga aktif mengikuti berbagai kursus, di dalam negeri dan di luar negeri. Misalnya saja, tahun 1999 ia bersama 35 peserta lainnya mengikuti Training Higher Education di McGill University Kanada dalam program Faculty Development. Pelatihan ini merupakan kerjasama UIN Jakarta dengan McGill University. Sepulang dari Kanada, Farida mulai menggeluti berbagai pelatihan di Indonesia. Ia terlibat dalam berbagai pelatihan sebagai fasilitator. Bersama tim di ICCE ia pun ikut mendesain buku modul pendidikan kewargaan atau civic education. Dua tahun kemudian, tahun 2002, ia bersama lima peserta terbaik dari Training di Kanada mendirikan Center for Teaching and Learning Development (CTLD).
Seiring keterlibatannya yang intens dalam kegiatan pendidikan ia semakin menikmati dunia pendidikan.Kecintaannya pada dunia pendidikan semakin tersalurkan ketika tahun 2003 ia dipercaya mengelola Madrasah Pembangunan (MP). Dan kini, perempuan yang menikah sejak masih kuliah ini, mendedikasikan sebagian besar waktunya di MP. MP sendiri merupakan salah satu lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan UIN Jakarta. Lembaga ini awalnya didesain sebagai laboratorium bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). Kemudian, berkat pengelolaan yang profesional, Madrasah Pembanguan berubah menjadi madrasah unggulan yang diminati ribuan calon siswa dari daerah Jakarta Selatan dan sekitarnya.Di bawah tangan dingin Farida, MP telah banyak menoreh prestasi.
Obsesi awalnya ketika dipercaya memimpin lembaga ini adalah ingin menjadikan MP sebagai lembaga pendidikan alternatif yang diminati masyarakat. Di tengah merosotnya moral generasi muda, MP menurut Farida memiliki pasar yang sangat besar. Sebab, kini masyarakat mencari tempat yang paling aman bagi perkembangan pendidikan anak-anaknya. Dan itu terdapat di MP. "Orang akan memilih madrasah untuk membentengi akhlak anak-anaknya," kilahnya. Namun, Farida prihatin dengan kondisi madrasah di Indonesia. Pasalnya madrasah seringkali diasosiasikan dengan kekumuhan. “Setiap kali disebut madrasah, orang akan terbayang pada lembaga pendidikan yang kumuh dan fasilitasnya tidak memadai,†katanya. Karena itu, wajar jika masyarakat kelas atas kemudian tidak mau menyekolahkan anaknya di madrasah. Madrasah dianggap sebagai lembaga pendidikan kelas dua, yang hanya dijadikan sebagai pelarian ketika lembaga pendidikan lainnya tidak menerima.
“Sebenarnya banyak orang yang ingin menyekolahkan anaknya ke madrasah, tapi karena madrasahnya kumuh, orang kemudian tidak tega melihat anaknya sekolah di tempat seperti itu,†jelas Farida.
Melihat kondisi yang memprihatinkan tersebut, melalui MP Farida ingin membuktikan kepada masyarakat bahwa madrasah itu bagus dan fasilitasnya pun lengkap. MP berbeda dengan madrasah lain. Sehingga murid-murid dari kelas atas tak sungkan lagi masuk madrasah. “Saya ingin anak-anak kami (demikian Farida menyebut siswa-siswinya) bangga menyebut dirinya sebagai anak madrasah,†tegas Farida.Untuk merealisaskikannya, Farida rela mengeluarkan kocek MP hingga ratusan juta rupiah, hanya demi membangun lapangan olahraga, khususnya basket dan futsal. Dan benarlah, hasilnya cukup membanggakan. Dalam berbagai pertandingan dengan berbagai sekolah unggulan lainnya seperti Tarakanita atau Al-Azhar, MP sering tampil sebagai juara. Bahkan Madrasah Ibtidaiyah MP, sempat menjuarai pertandingan futsal tingkat nasional yang memperebutkan piala Meneg-Pora selama dua tahun berturut-turut. “Jadi aspek non-akademiknya pun sangat kami perhatikan,†katanya.
Selain mengembangkan kemampuan olahraga para siswa, Farida juga mengembangkan bakat seni dan wirausaha dari siswa-siswi MP. MP sendiri memiliki studio musik yang bagus. Di samping itu, bakat wirausaha di tampung dalam bentuk Student Company, salah satu kegiatan ekstra kurikuler yang menampung siswa-siswi yang hobi bisnis. Mereka belajar mengelola perusahaan. Layaknya perusahaan, ada direktur, manager hingga karyawan. Untuk memperluas jaringan Student Company MP, ikut menjadi anggota Junior Achievement International yang berpusat di Amerika. Jadi mereka saling bertransaksi dengan teman-teman mereka di Amerika dan Kanada melalui teleconference internet. MP adalah madrasah pertama di Indonesia yang mengikuti program ini.Di bidang akademik, MP juga tak kalah dengan sekolah unggulan lainnya. Farida menuturkan sekolah asuhannya juga memiliki keunggulan di bidang sains. “MTS kita juara satu Olimpiade Science Ceria di Labschool Jakarta, lawannya adalah Tarakanita, Pangudiluhur, dll,†sebutnya. Di tingkat DKI, menjelang Ujian Nasional tahun ini, MP menempati peringkat kelima dalam tryout UN Jakarta. Kualitas lulusan MP pun tak kalah dengan sekolah unggulan lainnya. Lulusan MTs MP diterima di sekolah-sekolah papan atas seperti SMA 70, SMA 34, Insan Cendekia. Tahun in,i sebanyak 15 lulusan MP diterima di SMA 34, juga ada yang masuk kelas akselerasi dan international di SMA 70. “Jadi lulusan MP diterima di sekolah-sekolah unggulan,†tegasnya. Bahkan seiring pengembangan UIN Jakarta menjadi world class university, MP pun akan membuka kelas internasional. Namun kepastian kapan akan dibuka, Farida belum dapat memastikan. Ia mengaku telah mempersiapkan tenaga pengajar dan kurikulumnya. Dengan demikian, Farida ingin MP selalu berpacu seiring dengan perkembangan UIN Jakarta yang melaju pesat.
Farida memang sosok perempuan yang luar biasa. Semua aktivitasnya mulai dari mengelola MP, ICCE, CLTD, mengajar di FITK, dan menjadi fasilitator berbagai training dijalani dengan filosofi hidup yang sangat sederhana, yakni “nikmati hidup iniâ€. Dengan filosofi ini, Farida membuktikan diri sebagai perempuan yang tidak terlalu ngoyo dalam mengejar banyak hal. “Lakukan apa yang ada di depan mata yang mejadi tanggungjawab kita, kerjakan semaksimal mungkin, soal selanjutnya sangat terkait dengan tanggungjawab kita sekarang,†tuturnya. Dalam mengejar karir, Farida sangat menikmati proses. Sebab, proses baginya merupakan sebuah fase yang harus dijalani. Ia bukanlah sosok yang obsesif. “Saya tidak pernah bermimpi menjadi Direktur MP dan kedua lembaga (CLTD dan ICCE, Red). Itu semua proses,†tuturnya merendah. Menurut dia, orang berobsesi itu boleh-boleh saja, tapi dengan syarat jangan melupakan pekerjaan yang ada di depan mata.[] Moh. Hanifudin Mahfuds