Pendidikan Masa Depan Berbasis Keterampilan Abad 21: Aktualisasi Pendidikan Komunikasi dari Kisah Nabi Yusuf AS
Dr Muhbib Abdul Wahab MA, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah
Tulisan ini merupakan kelanjutan tulisan kedua saya pada majalah Tabligh edisi Juli 2021. Kisah Nabi Yusuf AS dalam Alquran surat Yusuf merupakan kisah terbaik (ahsan al-Qashash) (QS Yusuf/12:3) yang sangat menginspirasi dan sarat nilai-nilai pendidikan. Pada tulisan ketiga ini, bahasan difokuskan pada aktualisasi pendidikan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari yang dipandu spirit ihsan (nilai etika, semangat berbuat kebaikan).
Yusuf hidup dalam lingkungan keluarga besar, memiliki 11 saudara dari ayah yang sama, tetapi berbeda ibu. Semua saudaranya lelaki, yang dalam istilah al-Qur’an disebut al-Asbâth. Yusuf dianugerahi ketampanan wajah yang luar biasa sehingga para wanita terpesona olehnya, sampai-sampai mereka tidak sadar dan tidak merasa “mengiris” tangannya dengan pisau ketika mereka dipertemukan oleh istri al-Aziz dalam sebuah jamuan (QS Yusuf [12]:31). Sedemikian tampannya, dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa penduduk Mesir ketika mengalami musim kekeringan dan paceklik di masa itu, mereka memandangi wajahnya beberapa hari, sehingga tidak ingat makan, melupakan rasa lapar, karena menikmati ketampanan wajahnya.
Kajian pendidikan masa depan dalam tulisan ini difokuskan pada pendidikan komunikasi bervisi profetik. Pendidikan komunikasi berkaitan erat dengan penarasian Alquran dengan komunikasi profetik berikut model komunikasi Yusuf dengan anggota keluarganya, dengan orang-orang yang dipenjara bersamanya, dan dengan keluarga istana. Narasi Alquran tentang komunikasi dalam kisah Yusuf sangat menarik diambil sebagai ibrah (pelajaran kehidupan) terutama bagi orang tua dalam mendidik anak-anaknya dan bagi pendidik dalam mengedukasi peserta didiknya.
Model Komunikasi Profetik
Dalam dunia pendidikan, penelitian Fifi Hasmawati (2017), Islamic Communication Planning in Improving The Quality of Education Services berkesimpulan bahwa perencanaan komunikasi Islami memberikan pengaruh yang besar terhadap kualitas pelayanan pada lembaga pendidikan Islam. Pendidikan itu merupakan proses komunikasi antara pendidik dengan peserta didik, antara peserta didik dengan warga masyarakat yang ada di lingkungan pendidikan maupun di masyarakat. Diakui bahwa tanpa komunikasi efektif dan persuasif interaksi pembelajaran dan pendidikan tidak akan membuahkan hasil atau mencapai tujuan yang diharapkan.
Kisah Nabi Yusuf sejatinya merupakan potret dan model komunikasi edukatif yang penuh kelembutan, kesantunan, dan keadaban. Tindak tutur dan aksi komunikasi yang dilakukan Yusuf memperlihatkan pentingnya menjaga etika komunikasi, agar pesan yang disampaikan dapat diterima dan dipahami oleh komunikan. Kisah Yusuf juga menunjukkan gaya komunikasi profetik universal yang menarik dan menyentuh hati sebagai sumber inspirasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khusus komunikasi pendidikan dan pendidikan komunikasi. Pendidikan komunikasi dalam kisah Yusuf sangat relevan dengan keterampilan abad 21 yang perlu dikembangkan institusi pendidikan, yaitu: berpikir kritis (critical thinking), kreativitas (creativity), kerjasama (collaboration), dan komunikasi (communication).
Kajian Mariyatul Norhidayati Rahmah (2016), “Model Komunikasi Interpersonal dalam Kisah Nabi Yusuf AS” menyimpulkan bahwa kisah Nabi Yusuf juga merupakan kisah dengan model komunikasi interpersonal yang beragam, sarat pesan bermakna, sentuhan emosi dan filosofi kehidupan. Ada konflik internal dalam keluarga Nabi Ya’qub AS, ada kisah cinta, persaudaraan, harta dan kedudukan yang melingkupi rangkaian kisah ini. Ada kesedihan, kegembiraan, cobaan dan godaan yang mengantarkan Nabi Yusuf mencapai derajat tinggi menjadi orang terhormat (Menteri) yang terpercaya. Komunikasi dalam kisah Yusuf juga mengadung nilai-nilai dakwah Islamiyah.
Oleh karena itu, pendidikan komunikasi yang ideal tidak hanya berorientasi kepada penyampaian ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga merupakan pembentukan sikap (ranah afektif) dan pengembangan keterampilan (psikomotorik): bahasa, komunikasi, sosial, hidup, literasi, dan sebagainya sekaligus dakwah, dalam arti upaya mengajak dan mengoneksikan kehidupan manusia dengan Allah. Esensi pendidikan komunikasi adalah proses membangun dan mengembangkan makna antara komunikator dan komunikan, sehingga terjadi saling pemahaman (kognitif), terbentuknya sikap dan kesadaran kolektif terhadap nilai kebenaran, mencintai dan mengamalkan kebaikan demi kemasalahatan hidup umat manusia.
Pendidikan komunikasi dalam kisah Yusuf dimulai dengan pentingnya keterbukaan informasi, kejujuran dalam menyampaikan pesan, dan ketepatan sasaran dalam berkomunikasi agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Dengan jujur dan terbuka, Yusuf menyampaikan mimpinya kepada sang ayah bahwa ia melihat sebelas bintang yang sangat jelas cahayanya, matahari, dan bulan. Dia melihat semuanya bersujud kepadanya (QS Yusuf [12]:4). Sang ayah, Ya’qub AS, memahami bahwa mimpi anaknya itu merupakan isyarat tentang anugerah dan tanda kenabian anaknya, sehingga dengan komunikasi empatik dan penuh kasih sayang, sang ayah berpesan agar tidak menceritakan (mengomunikasikan) mimpinya itu kepada saudara-saudaranya. Pesan ini menunjukkan bahwa penyampaian pesan kebenaran itu harus tepat sasaran, agar tidak terjadi kesalahpahaman dan sikap kontra produktif, apalagi isi pesan itu sangat sensitif dan berpotensi menimbulkan kecemburuan, kedengkian, dan makar, lebih-lebih jika penerima pesan terprovokasi oleh bujuk rayu setan (QS Yusuf [12]:5).
Pendidikan komunikasi dalam kisah Yusuf juga mengandung pelajaran berharga bahwa mispersepsi, prasangka buruk, kebencian, dan kedengkian menjadi salah satu sebab komunikasi yang buruk dan destruktif. Para saudara Yusuf yang berjumlah sepuluh orang, tetapi berlainan ibu, pada mulanya memiliki prasangka buruk terhadap ayahnya karena merasa bahwa Yusuf dan saudara kandungnya, Bunyamin, lebih diperhatikan dan dicintai ayahnya daripada mereka bersepuluh. Mispersepsi dan prasangka buruk itu kemudian dikomunikasikan dengan pernyataan negatif: “Sesungguhnya ayah kita benar-benar dalam kekeliruan yang nyata” (QS Yusuf [12]:8)
Akibat penilaian dan prasangka buruk tersebut, mereka terlibat persekongkolan jahat. Mereka merencanakan kejahatan terhadap Yusuf. Di antara mereka ada yang mengusulkan untuk membunuh Yusuf; atau membuangnya ke daerah yang tidak dikenal agar perhatian sang ayah tidak lagi dicurahkan kepada Yusuf. Ada lagi yang mengusulkan agar Yusuf dibuang atau dilempar ke dalam sumur. Akhirnya, hasil komunikasi di antara mereka menyepakati usul terakhir, sambil berusaha membujuk ayahnya agar mengizinkan Yusuf diajak pergi untuk bermain-main bersama mereka. Ketika berkomunikasi dengan sang ayah, salah seorang dari mereka berkata: “Ayah kami, mengapa selama ini engkau sepertinya tidak mempercayai kami terhadap Yusuf untuk pergi bermain dan berjalan mengembala sambil menikmati pemandangan, padahal kami akan menjaganya dan menyenangkan hatinya? Izinkanlah besok pagi dia pergi bersama kami agar dia dapat makan dan minum dengan lahap dan dapat juga bersenang-senang bermain. Kami pasti akan menjaganya dengan baik.” (QS Yusuf [12]:11-12)
Sang ayah tentu dapat membaca arah komunikasi anak-anaknya. Sang ayah kemudian menjawab: “Aku bukannya tidak mempercayai kamu, tetapi kepergian kamu ke manapun Bersama Yusuf akan sangat menyedihkanku, apalagi Yusuf masih kecil. Aku khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala, sedangkan kamu lengah darinya disebabkan oleh perhatian kamu menggembala atau keasyikan bermain.” (QS Yusuf [12]:13). Komunikasi yang didasari kedengkian dan kebencian cenderung diwarnai kecurigaan, tidak saling percaya, dan menyisakan sejumlah tanda tanya yang bermuara pada bahaya. Pendidikan komunikasi dan komunikasi pendidikan idealnya dibangun dengan ketulusan hati dan kesadaran moral untuk hanya mengagendakan kebaikan, bukan menyembunyikan dan menyimpan rasa permusuhan, apalagi rencana jahat yang membahayakan.
Mereka kemudian berkata: “Jika benar-benar ia dimakan serigala, sedangkan kami kelompok yang kuat, pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Yusuf [12]:14). Quraisy Shihab menafsirkan “merugi” dalam ayat ini, sebagai kerugian akibat kehilangan saudara, kehilangan kepercayaan dan harga diri sebagai kelompok pemuda yang kuat dan kompak. Dengan argumentasi seperti itu, akhirnya sang ayah mengizinkan mereka membawa dan mengajak Yusuf bermain.
Ketika mereka membawa Yusuf sambil bergandengan tangan atau menggendongnya, sekali lagi mereka semua sepakat akan memasukkannya ke dalam sumur, Allah mengilhaminya bahwa “Jangan khawatir! Engkau akan selamat. Suatu ketika engkau pasti akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka ketika itu tidak mengetahui bahwa engkau adalah Yusuf.” (QS Yusuf [12]:15). Yang menarik adalah bahwa komunikasi nirempati, komunikasi atas dasar permufakatan jahat, atau komunikasi berbasis kedustaan akan selalu dibungkus dan dicarikan segala pembenaran yang dianggap masuk akal.
Setelah Yusuf dijerembabkan ke dalam sumur, mereka menanti sekian lama hingga matahari terbenam (sambil mencari alasan dan alibi), lalu mereka kembali menemui ayah mereka sambil berpura-pura sedih dan menangis (QS Yusuf [12]:16). Sang ayah kemudian bertanya: “Apa yang telah terjadi?” Mereka menjawab: “Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu ketika kami sedikit menjauh dari tempat Yusuf menanti, muncullah serigala dan langsung menerkamnya. Kami tidak sempat menyelamatkan Yusuf, dan dia dimakan habis oleh serigala itu. Kami tahu, engkau pasti tidak akan percaya kepada kami sekalipun kami adalah orang-orang yang benar, menyampaikan fakta yang sebanarnya.” (QS Yusuf [12]:17)
Komunikasi penuh dusta yang dikemas dengan sandiwara berpura-pura sedih dan menangis pasti membuat komunikator tidak merasa nyaman, karena ada suara kebenaran hati nurani yang disembunyikan dan menjadi beban psikologis yang menggelisahkan. Dengan maksud meyakinkan ayah mereka, komunikasi dusta itupun dicarikan alasan dan alibi yang dianggapnya memperkuat kebenaran isi pesan yang disampaikan kepada ayahnya. Mereka lalu menyodorkan baju Yusuf yang berlumuran darah kepada ayahnya, padahal itu adalah darah seekor binatang yang mereka sembelih, lalu mereka lumuri baju Yusuf dengan darah binatang itu. Perasaan dan firasat orang tua pun berkata: “Tidak!”. Sang ayah seolah menegaskan bahwa “kenyataan yang terjadi bukan seperti apa yang kamu sampaikan. Bagaimana mungkin dia diterkam serigala sedangkan pakaiannya tidak robek? Atau apakah dia membuka pakaiannya untuk bermain? Jika demikian, mengapa pakaian ini berlumuran darah?
Jadi, komunikasi yang tidak jujur dan tidak autentik selalu meninggalkan “jejak kebohongan dan ketidakwajaran”. Karena itu, pendidikan komunikasi harus bervisi profetik: berbasis kejujuran, kebenaran, autentisitas, dan keterbukaan yang tulus, keluar dari hati nurani. Sebaliknya komunikasi dusta akan selalu diliputi alibi dan alasan pembenaran yang penuh kebohongan dan kedustaan, tidak berbasis fakta dan data nyata. Komunikasi politik tidak jarang diwarnai dengan kebohongan demi kebohongan, hanya karena pencitraan dan ambisi mempertahankan kekuasaan, seperti yang dilakukan oleh Fir’aun dan Haman atau penguasa otoriter dan zhalim pada umumnya.
Komunikasi profetik merupakan komunikasi yang bervisi dan berisi pesan kenabian, mengajak kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah kemungkaran, dan membimbing umat menuju jalan Allah dengan hikmah (komunikasi yang benar dan tegas yang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil), pelajaran yang baik, dan perdebatan yang lebih baik (QS an-Nahl [16]: 125). Komunikasi profetik tidak hanya relevan dan efektif diimplementasikan dalam dunia pendidikan, tetapi juga sangat tepat dijadikan model komunikasi politik yang bervisi mencerdaskan dan mencerahkan masyarakat dan bangsa.
Etika Komunikasi Edukasi
Setelah dijerumuskan dalam sumur, kemudian ditemukan kafilah musafir yang melintasi dan mengambil air di sumur tersebut, Yusuf kemudian dijual sebagai budak, dan dibeli oleh raja Mesir dengan harga murah. Pembeli budak itu berpesan kepada istrinya agar Yusuf dimuliakan, diberi tempat dan layanan yang baik agar dia senang tinggal bersamanya. Menurut sang raja, saya melihat banyak tanda keistimewaan pada anak ini. Karena itu, saya berharap semoga dia kelak bermanfaat bagi kita atau bahkan kita pungut sebagai anak angkat (QS Yusuf [12]:19-21). Komunikasi yang ditunjukkan oleh sang raja kepada istrinya sangat simpatik dan santun, tidak seperti layaknya tuan pada umumnya yang cenderung memperlakukan budak secara tidak manuasiawi. Komunikasi pemimpin, seperti raja Mesir, berorientasi edukasi, mendidik istrinya bagaimana memperlakukan “anak” dengan baik.
Namun dalam perkembangannya, Yusuf tumbuh besar dan dewasa di lingkungan istana dan ternyata mempesona istri raja, yang konon bernama Zulaikha atau Zalikha. Yusuf berulang kali digoda oleh istri sang raja. Ketika sang suami berada di luar rumah, sang istri mempersiapkan diri dengan dandanan dan tampilan yang terbaik, lalu menutup rapat pintu-pintu yang dapat digunakan untuk menuju tempat yang dia rencanakan berduaan dengan Yusuf. Zulaikha memanggil dan menggoda Yusuf sambil berkata penuh harap: “Marilah ke sini. Laksanakan apa yang kuperintahkan, atau, inilah aku yang siap memenuhi keinginanmu.” (QS Yusuf [12]:23). Yusuf menyikapi “godaan dan rayuan maut” Zulaikha dengan sabra dan hati yang tenang, sambil berkata: “Aku memohon perlindungan Allah SWT. Sungguh dia adalah tuan (suami Zulaikha) pemeliharaku yang selama berbuat baik kepadaku. Sungguh orang-orang yang zhalim tidak akan pernah beruntung.” (QS Yusuf [12]: 23)
Sungguh Yusuf menampilkan model komunikasi santun yang berusaha untuk tidak menolak secara kasar ajakan “terlarang” istri sang raja, dengan menyandarkan komunikasi kejujurannya kepada perlindungan Allah SWT, di samping komunikasi rendah hati dengan mengakui perlakuan dan pelayanan baik yang selama ini diterima dari tuannya. Dalam konteks ini menarik digarisbawahi bahwa Yusuf yang notabene adalah “imigran dari Palestina” dan hidup di lingkungan istana di negara yang berbeda dengan asalnya (Mesir) menunjukkan komitmen moralnya dengan beretika komunikasi interkultural (lintas budaya) yang santun dan beradab. Artinya, komunikator yang efektif mesti memahami perasaan, pemikiran, budaya, dan kebiasaan komunikan, sehingga tidak berkomunikasi yang mengundang konflik, permusuhan, pertengkaran, dan sebagainya.
Etika komunikasi edukasi, dengan demikian, menghendaki implementasi prinsip-prinsip komunikasi yang dinarasikan Alquran dalam bentuk: (1) qawlan sadîdan (komunikasi berisi kebenaran, tidak bohong, hoaks, fitnah, dan sebagainya), (2) qawlan balîghan (komunikasi efektif, menyentuh hati, dan kontekstual), (3) qawlan maysûran (komunikasi yang pantas, berkeadaban), (4) qawlan layyinan (komunikasi yang lembut, santun), (5) qawlan karîman (komunikasi yang mulia, bermartabat, penuh apresiatif); dan (6) qawlan ma’rûfan (komunikasi yang baik, patut, persuasif).
Sampai pada episode Yusuf lolos dari “jebakan cinta terlarang” di lingkungan istana, setidaknya dapat ditegaskan bahwa etika komunikasi edukasi dalam kisah Yusuf dalam surat Yusuf itu merupakan narasi komunikasi edukatif yang bervisi profetik. Menurut Muhammad Tata Taufik (2008), komunikasi profetik itu merupakan komunikasi para Nabi dan Rasul serta para pemegang otoritas keagamaan, seperti para ulama, guru agama, dan kelompok yang dianggap kompeten, serta komunikasi yang dijalin antara sesama anggota komunitas Muslim dengan mengedepankan pesan syariah dan dakwah sebagai konten utamanya.
Dengan kata lain, etika komunikasi edukasi bervisi profetik yang diinspirasi dari kisah Nabi Yusuf sangat relevan untuk diaktualisasikan dalam proses pendidikan di masa depan. Nabi Yusuf sendiri dengan model dan etika komunikasi yang dilakukannya terbukti sukses melakukan transformasi diri from zero to hero (dari dalam sumur [zero] kemudian menjelma menjadi pahlaan yang dipercaya sebagai Menteri Ekonomi dan Keuangan Mesir) setelah berhasil membaca dan menakbirkan mimpi raja secara prediktif dan futurologis. Jadi, proses dan model pendidikan komunikasi dalam Islam mengharuskan pemaknaan proses pendidikan dan proses pembelajaran sebagai proses komunikasi profetik yang humanis, etis, dan futuris. (Bersambung)
Sumber: Majalah Tabligh Edisi No. 8/XIX Muharram 1443 H/Agustus 2021. (mf)