Mengungkap Puasa dalam Tradisi Masyarakat Nusantara
Jakarta Berita UIN Online — Dalam kajian Ramadan yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana (SPS) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Budayawan sekaligus Dosen Fakultas Islam Nusantara UNUSIA Jakarta, Dr. Ngatawi Al-Zastrouw mengupas tradisi puasa yang telah ada di Nusantara sebelum kedatangan Islam hingga masa kini, Selasa (18/03/2025). Menurutnya, puasa bukan hanya bagian dari ajaran Islam, tetapi juga telah dikenal dalam berbagai agama dan budaya sejak lama. Karena latar agama-agama samawi berasal dari Timur Tengah, pembahasan tentang puasa sering kali merujuk pada tradisi para nabi di kawasan itu.
Ia menjelaskan bahwa puasa telah lama menjadi bagian dari tradisi masyarakat Nusantara, bahkan sebelum Islam datang. Berbagai bentuk puasa seperti ngrowot, ngebleng, dan madi geni dilakukan sebagai tirakat dalam berbagai hajat dan ritual penting.
“Para Empu yang membuat keris, misalnya, menjalani puasa terlebih dahulu. Begitu juga seniman seperti penari dan dalang, yang berpuasa sebelum menjalankan pertunjukan,” ujarnya.
Selain itu, puasa juga terkait erat dengan ritual keagamaan. Dalam ajaran Kapitayan, puasa menjadi syarat sebelum menjalankan sembahyang sebagai bentuk dharma bakti kepada Tuhan. “Sebelum sembahyang, ada fase tertentu di mana seseorang harus berpuasa terlebih dahulu,” jelasnya.
Dalam pelaksanaannya, sembahyang dalam Kapitayan juga tidak terlepas dari ritual Umpowoso (puasa). Dr. Ngatawi menjelaskan, dalam tradisi masyarakat Jawa kuno, puasa merupakan salah satu bentuk tirakat, yang merupakan bagian dari ajaran hidup untuk memperoleh daya linuwih atau kekuatan spiritual.
“Diyakini, bahwa puasa itu salah satu teknik untuk memperoleh daya Linuwih atau daya spiritual lebih (karomah), sehingga orang yang berpuasa dianggap sebagai posisi Keramat. Karena dia memiliki keilmuan dan kekuatan spiritualitas yang tinggi untuk memperoleh kebersihan hati dan jiwa, sehingga dapat memperoleh kekuatan dari Tuhan,” jelasnya.
Selain di Jawa, tradisi puasa juga ditemukan dalam budaya masyarakat Bugis sebelum kedatangan Islam. Dalam budaya Bugis, puasa dikenal sebagai bentuk penyucian diri yang bertujuan untuk menghilangkan pikiran duniawi dan mendekatkan diri kepada Ilahi. Konsep ini disebut mappereng, yaitu kemampuan menahan diri dari segala godaan duniawi.
“Mereka yang menjalani mappereng dianggap sebagai individu yang kuat dan dihormati, seperti Bissu (pendeta Bugis kuno), para raja, dan pembuat pusaka,” ujar Dr. Ngatawi.
Selain menjalankan ibadah puasa, masyarakat Nusantara memiliki beragam tradisi unik dalam menyambut Ramadan. Di Minangkabau, terdapat tradisi Malamang, yaitu memasak lemang secara bersama-sama sebagai bentuk kebersamaan. Suku Bugis-Makassar memiliki tradisi Suru Maca, yakni pembacaan doa bersama untuk para leluhur. Sementara itu, masyarakat Sunda melaksanakan Munggahan, yaitu silaturahmi dan makan bersama sebelum memasuki bulan Ramadan.
Lebih jauh, Dr. Ngatawi menjelaskan bahwa Ramadan merupakan momentum terjadinya kreativitas simbolik bagi masyarakat Nusantara, sebagaimana tercermin dari berbagai bentuk ritual dan tradisi yang muncul saat Ramadan sebagai bentuk ekspresi dari kearifan lokal.
Pertama, budaya Megengan, tradisi berkirim doa untuk orang yang telah meninggal, disertai pemberian makanan kepada tetangga. Kedua, tradisi membangunkan orang sahur melalui shalawat diringi kentongan dan alat musik lainnya, “Yang kemudian melahirkan musik patrol dan sejenisnya,” ujarnya. Ketiga, munculnya tradisi buka bersama, sahur bersama, mudik, halal bihalal adalah sederet tradisi yang merupakan simbol sarat makna kebersamaan, berbagi dan empati.
Menutup pemaparannya, Dr. Ngatawi menekankan bahwa puasa memiliki berbagai makna mendalam dalam kehidupan masyarakat Nusantara.
“Puasa adalah pembersih hati dan penguat jiwa agar manusia lebih peka terhadap sesama. Puasa juga merupakan bentuk pengendalian nafsu untuk mencapai derajat mulia, baik di sisi manusia maupun Tuhan. Selain itu, puasa menjadi ajang komunikasi dan interaksi sosial melalui berbagai ritual,” pungkasnya.
(Shanti Oktavia/Aida Adha S./Zaenal M./Amalia Vilistin)