Menghidupkan Spirit Pancasila
Prof. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D
Pancasila bukan sekadar lima sila yang kita hafal sejak sekolah dasar. Ia adalah napas panjang yang menjaga Indonesia tetap Indonesia di tengah terpaan zaman.
Setiap perubahan ekonomi, politik, teknologi—bahkan cuaca batin masyarakat—akan selalu menguji apakah kita masih setia pada “rumah nilai” bernama Pancasila.
Pertanyaannya: bagaimana menghidupkan kembali spiritnya di tengah letihnya ruang publik, derasnya arus ujaran kebencian, dan godaan pragmatisme yang kian memikat?
Saya ingin mengajak kita kembali pada dua hal sederhana: pertama, mengingat kembali sumber-sumber otentik Pancasila; kedua, menerjemahkan ke dalam praktik sosial yang membumi—tanpa gaduh, tanpa pretensi.
Keindonesiaan kita sudah dirumuskan dengan penuh holistik dan universal, dan tugas kita hari ini adalah mengaktifkan kembali nilai-nila universal dan mendalam Pancasila itu dalam laku, bukan sekadar slogan.
Kembali ke Sumber: Menjernihkan Mata Air
Keppres No. 24 Tahun 2016 menegaskan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila sekaligus hari libur nasional. Penetapan ini bukan urusan seremonial belaka; ia mengingatkan bahwa Pancasila punya original ideas—titik tolak intelektual—yang patut dirayakan agar kita tidak lupa pada konteks kelahirannya.
Keputusan Presiden tersebut menetapkan bahwa “tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila”, serta menyatakan bahwa tanggal itu menjadi hari libur nasional.
Di sidang BPUPKI 1 Juni 1945, Bung Karno merumuskan gagasan dasar negara yang bersudut pandang kebangsaan, kemanusiaan, permusyawaratan, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkeadaban.
Ia menekankan bahwa Indonesia harus menjadi negara “yang bertuhan”, namun berkeadaban—agama dijalankan tanpa egoisme keagamaan, dengan hormat-menghormati antarumat. Pesan penting ini relevan untuk zaman sekarang: keimanan yang memanusiakan, bukan merendahkan.
Rumusan yuridis Pancasila termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Inilah jangkar konstitusional yang menjadikan Pancasila mengikat segenap lembaga negara dan warga negara.
Ketika Pancasila diperdebatkan seolah ia bersifat opsional, kita perlu mengingat—secara hukum dasar negara ini sudah jelas dan tegas.
Pada level institusional di masa ini, negara membentuk BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) untuk merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melakukan koordinasi dan standardisasi pendidikan serta pelatihan, dan memberi rekomendasi atas kebijakan yang berpotensi mereduksi nilai-nilai Pancasila.
Tugas ini strategis, sebab pembinaan ideologi tidak bisa diserahkan pada spontanitas pasar gagasan; ia butuh orkestrasi kebijakan publik yang berkesinambungan.
Sebagai lembaga pemerintah non-kementerian, BPIP membantu Presiden merumuskan kebijakan ideologi Pancasila, melakukan koordinasi, sinkronisasi, pengendalian pembinaan, serta menetapkan standar pendidikan dan pelatihan Pancasila di semua tingkatan.
Dalam Peraturan BPIP Nomor 1 Tahun 2018 disebutkan bahwa tugasnya meliputi penyusunan pendidikan dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi atas regulasi yang bertentangan dengan Pancasila.
Menerjemahkan Nilai: Dari Teks ke Laku
Kita sering berhenti pada teks. Padahal Pancasila harus hadir dalam laku—cara negara bekerja dan cara warga hidup bersama. Bagaimana menerjemahkannya?
Ketuhanan yang Maha Esa menuntut kita membangun ruang publik yang ramah iman sekaligus berkeadaban. Negara melindungi kebebasan beragama, sementara warga menghayati iman tanpa menistakan.
“Bertuhan secara kebudayaan” berarti mempraktikkan agama dengan kesadaran adab, yakni hormat pada martabat manusia dan kebinekaan. Di sini, perguruan tinggi keagamaan punya peran unik: menghubungkan dalil dengan data, kitab dengan realitas, doktrin dengan dialog.
Kemanusiaan yang adil dan beradab mengajarkan etika kebijakan dan etika kehidupan. Dalam kebijakan, ia mengoreksi teknikalisme yang melupakan manusia—misalnya, program pangan, kesehatan, atau digitalisasi birokrasi yang harus mempermudah yang lemah, bukan hanya yang sudah kuat.
Dalam kehidupan sosial, ia menolak normalisasi perundungan dan ujaran kebencian. Ukurannya sederhana: apakah tindakan kita memuliakan martabat orang lain atau merendahkannya.
Persatuan Indonesia membangun keadaban bersatu walaupun dalam keragaman. Persatuan adalah kemampuan menata konflik secara dewasa.
Dalam masyarakat digital yang rapuh oleh disinformasi, menjaga persatuan berarti memperkuat literasi—bukan hanya literasi baca tulis, melainkan literasi batin: menahan diri, menyimak sebelum membalas, memverifikasi sebelum membagi.
Di kampus, kita perlu menyiapkan ruang dialog kritis yang aman, sehingga perbedaan menjadi energi pembelajaran, bukan alasan pengucilan.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan meminta kita merawat nalar musyawarah: mendengar, menimbang, memutus.
Demokrasi tanpa hikmah akan berujung pada kekerasan angka—menang karena mayoritas, bukan karena argumen. Demokrasi yang berhikmah justru menguatkan minoritas, memastikan keputusan lahir dari deliberasi.
Di lingkungan akademik, budaya senat dan forum-forum etik dapat menjadi laboratorium musyawarah yang mencerminkan sila keempat dalam skala mikro.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah ujung dari semua sila. Ukuran akhirnya: berapa banyak yang terangkat dari kemiskinan, berapa luas akses setara terhadap pendidikan dan kesehatan, seberapa aman warga dari kekerasan dan kelaparan.
Kebijakan publik harus diuji dengan pertanyaan moral: siapa yang paling lemah, dan apakah kebijakan ini nyata-nyata membela mereka? Ini termaktub dalam amanat Pembukaan UUD 1945: melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jalan Sunyi yang Teguh: Peran Kampus dan Kepemimpinan yang Teduh
Sebagai rektor, saya belajar bahwa memimpin kampus itu seperti menenun yang membutuhkan ketelitian dan kesabaran: benang-benang iman, ilmu, dan amal harus disatukan dengan sabar.
Kampus keagamaan negeri memiliki misi mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan nilai spiritual—agar lahir sarjana intelektual sekaligus cendikiawan yang piawai secara teknis dan matang secara etik.
Inilah kontribusi nyata untuk Pancasila: menghadirkan lulusan yang mampu mengambil keputusan berbasis data, dijiwai adab, dan peka terhadap keadilan.
Ada beberapa ikhtiar praktis yang dapat ditempuh: Pertama, membangun ekologi adab. Kita sering rajin berdebat tentang “apa yang benar” tetapi lalai pada “bagaimana mengatakan yang benar”.
Adab adalah cara: disiplin akademik, jujur ilmiah (anti-plagiasi), berbahasa santun, dan memperlakukan lawan diskusi sebagai sesama pencari kebenaran. Adab yang dirawat melahirkan watak intelektual yang rendah hati—dan rendah hati adalah kawan dekat kebenaran.
Kedua, mengarusutamakan riset dan pengabdian yang memihak kemaslahatan. Keadilan sosial menghendaki inovasi yang menjangkau seluruh lapisan: teknologi tepat guna untuk UMKM, literasi digital untuk desa, tata kelola masjid yang akuntabel, kurikulum karakter yang kontekstual.
Kampus harus menjadi mitra pemerintah dan masyarakat sipil dalam merancang kebijakan berbasis bukti. Di sini, sinergi dengan lembaga-lembaga pembinaan Pancasila dan kementerian menjadi penting, agar lokakarya nilai tidak berhenti pada spanduk dan seminar, tetapi menembus kurikulum, modul, dan praktik keseharian.
Kerjasama antara kampus dan lembaga-lembaga negara seperti BPIP misalnya bisa memperkuat harmonisasi materi pembinaan ideologi dalam pendidikan tinggi.
Ketiga, menumbuhkan “literasi batin” di tengah banjir informasi. Di era algoritma, kita memerlukan bukan hanya kecakapan memilah berita, tetapi keheningan yang memampukan kita melihat manusia di balik layar.
Sila kedua dan ketiga akan kehilangan daya bila jiwa kita tidak pernah berhenti untuk bersyukur, bertafakkur, dan berempati. Tradisi tasawuf sosial memberi metodologi: tazkiyatun nafs (membersihkan motif), ihsan (berbuat terbaik), dan adab (meletakkan sesuatu pada tempatnya).
Dengan demikian, nilai ketuhanan bukan retorika, melainkan energi penggerak yang menyejukkan ruang publik.
Keempat, mempraktikkan musyawarah yang memulihkan. Di kampus, musyawarah bukan sekadar mekanisme rapat. Ia adalah budaya mendengar yang sungguh-sungguh.
Dalam konflik, kita bertanya: “Bagaimana semua pihak tetap bermartabat setelah keputusan?” Jika keputusan menyisakan luka, musyawarah belum paripurna.
Etos inilah yang perlu kita ekspor ke masyarakat dan birokrasi: berpihak pada solusi yang adil, bukan menang-kalah yang menubruk rasa keadilan.
Menghidupkan spirit kebangkitan Pancasila berarti menumbuhkan kembali kepercayaan: bahwa hidup bersama masih mungkin, bahwa perbedaan dapat dikelola, bahwa negara hadir memihak yang lemah, dan bahwa agama memanusiakan.
Kita telah memiliki fondasi normatif yang kuat—dari Pembukaan UUD 1945, arsitektur nilai Bung Karno, hingga penguatan kelembagaan pembinaan ideologi. Kini pekerjaan kita lebih “membumi”: membenahi kultur, insentif, dan teladan.
Saya mengajak kita memulai dari lingkar pengaruh terdekat. Di ruang kelas, mari kita disiplinkan budaya ilmiah dan santun berdialog.
Di keluarga, mari kita rawat kesederhanaan yang menjaga anak-anak dari konsumtivisme. Di kantor-kantor publik, mari kita biasakan transparansi dan pelayanan yang memuliakan warga.
Setiap langkah kecil yang konsisten adalah “ritus” kebangsaan yang menghidupkan Pancasila.
Pancasila itu seperti api unggun di malam panjang: ia tak memaksa, namun menghangatkan; tak menyilaukan, namun menerangi. Api kecil itu akan padam jika kita hanya mengelilinginya sambil berpidato, tanpa menambah kayu dan menjaga bara.
Spirit menghidupkan Pancasila—bagi saya—lahir dari keberanian untuk rendah hati: kembali ke sumber, merawat adab, memihak keadilan, dan mempraktikkan musyawarah yang memuliakan keadaban. Dari sana, Indonesia menjaga jiwanya, sekaligus menguatkan badannya.
Artikel ini telah dipublikasikan di kolom opini Disway, Selasa, 7 Oktober 2025