Mencegah Kutukan Demografi: Merealisasi Janji 19 Juta Lapangan Kerja
Mohammad Nur Rianto Al Arif
Guru Besar di UIN Syarif Hidayatullah
Sekretariat Jenderal DPP Asosiasi Dosen Indonesia
Asisten Utusan Khusus Presiden Bid. Ketahanan Pangan
Salah satu janji terbesar yang digaungkan pemerintah dalam periode kepemimpinan baru adalah penciptaan 19 juta lapangan kerja baru dalam lima tahun mendatang.
Angka ini bukan hanya sekadar janji politik yang terucap di tengah kampanye, melainkan target ambisius yang akan menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia ke depan.
Janji besar tersebut tentu memantik harapan masyarakat, terutama generasi muda yang setiap tahunnya terus memasuki pasar kerja dengan jumlah yang tidak sedikit.
Namun di balik optimisme, selalu ada pertanyaan, yaitu sejauh mana janji tersebut realistis, dan strategi apa yang disiapkan untuk benar-benar merealisasikannya?
Untuk memahami urgensi janji penciptaan lapangan kerja, kita harus melihat data terbaru kondisi ketenagakerjaan.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2025, melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025 mencapai 5,12 persen year-on-year (yoy), sedikit menguat dibanding kuartal sebelumnya sebesar 4,87 persen.
Pertumbuhan ini tetap ditopang konsumsi rumah tangga, investasi, serta ekspor komoditas unggulan.
Meski begitu, tantangan lapangan kerja masih cukup besar. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) per Februari 2025, tercatat di kisaran 4,76 persen, dengan jumlah pengangguran terbuka sekitar 7,28 juta orang.
Kondisi ini menjadikan janji penciptaan 19 juta lapangan kerja bukan sekadar program tambahan, melainkan kebutuhan struktural. Tanpa lonjakan penciptaan lapangan kerja, bonus demografi yang selama ini dielu-elukan bisa berubah menjadi beban demografi.
Bayangkan, jika setiap tahun 2,5 juta orang baru masuk ke pasar kerja, maka dalam lima tahun jumlahnya sudah lebih dari 12 juta.
Ditambah dengan angka pengangguran eksisting, kebutuhan penciptaan kerja minimal mencapai hampir 20 juta.
Dengan kata lain, target pemerintah ini sejatinya bukan ambisi berlebihan, melainkan cerminan dari realitas kebutuhan.
Meski peluang terbuka luas, tantangan yang dihadapi juga tidak sedikit. Kualitas tenaga kerja Indonesia masih menjadi persoalan mendasar.
BPS mencatat tingkat pengangguran tertinggi ialah pada lulusan SMA sebanyak 8 persen, kemudian diikut dengan lulusan SMA (6,35 persen).
Selain itu, lulusan perguruan tinggi masih menyumbang angka yang cukup besar, dimana lulusan diploma I, II, dan III sebanyak 4,84 persen; serta lulusan diploma empat, sarjana, magister dan doktor sebanyak 6,23 persen. Angka terendah pada lulusan SD sebanyak 2,3 persen dan SMP sebanyak 4,35 persen.
Kondisi ini menyulitkan upaya pemerintah dalam mengisi kebutuhan kerja di sektor-sektor modern yang membutuhkan keterampilan lebih tinggi.
Selain itu, persoalan ketidakcocokan antara lulusan pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja masih sering terjadi. Banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak terserap karena keterampilan mereka tidak sesuai dengan kebutuhan industri.
Selain kualitas SDM, masalah lain adalah ketimpangan regional. Pertumbuhan ekonomi masih terkonsentrasi di Jawa dan sebagian Sumatra, sementara kawasan timur Indonesia tertinggal dalam penciptaan lapangan kerja.
Padahal, potensi sumber daya alam dan pariwisata di kawasan tersebut sangat besar. Jika distribusi pembangunan tidak merata, maka penciptaan lapangan kerja bisa semakin timpang, hanya terkonsentrasi di wilayah tertentu, sementara wilayah lain tetap tertinggal.
Setidaknya ada beberapa sektor kunci yang berpotensi menjadi motor penciptaan kerja. Pertama, sektor industri pengolahan. Pemerintah sudah menyiapkan program hilirisasi sumber daya alam, seperti nikel, bauksit, dan kelapa sawit, yang diharapkan menciptakan jutaan lapangan kerja dari hulu hingga hilir.
Hilirisasi bukan hanya tentang ekspor bahan mentah, melainkan membangun industri bernilai tambah di dalam negeri.
Jika konsisten, industri ini bisa menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, baik pada tahap pembangunan pabrik, operasional, maupun industri pendukung seperti logistik dan jasa.
Kedua, sektor pertanian modern. Meski sektor pertanian masih menjadi penyerap tenaga kerja terbesar, sebagian besar pekerjanya berada pada kategori informal dengan produktivitas rendah.
Transformasi pertanian menuju sistem agribisnis modern, penggunaan teknologi, serta integrasi dengan industri pangan bisa meningkatkan daya serap kerja sekaligus kesejahteraan petani.
Program ketahanan pangan yang digulirkan pemerintah juga bisa menjadi katalis untuk menarik generasi muda kembali ke sektor ini, tentu dengan insentif dan dukungan teknologi yang memadai.
Ketiga, sektor digital dan ekonomi kreatif. Data menunjukkan bahwa sektor digital tumbuh jauh lebih cepat dibanding rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.
Perusahaan rintisan (startup) di bidang perdagangan digital, layanan keuangan berbasis teknologi, hingga konten kreatif mampu menyerap tenaga kerja, terutama dari kalangan muda yang melek teknologi.
Bila pemerintah mampu mendorong ekosistem digital yang inklusif, mulai dari akses internet hingga dukungan regulasi, maka jutaan lapangan kerja baru bisa tercipta dari sini.
Keempat, sektor pariwisata. Indonesia dengan segala keindahan alam, budaya, dan kekayaan maritim memiliki potensi luar biasa untuk mengembangkan pariwisata sebagai mesin pencipta kerja.
Pariwisata bukan hanya tentang hotel dan restoran, melainkan menciptakan ekosistem ekonomi kreatif dari seni pertunjukan, kerajinan, kuliner, hingga transportasi lokal.
Setiap satu lapangan kerja langsung di pariwisata, biasanya menciptakan dua hingga tiga lapangan kerja tidak langsung di sektor lain.
Kelima, UMKM. Tidak bisa dilupakan bahwa UMKM adalah tulang punggung ekonomi nasional, menyerap lebih dari 97 persen tenaga kerja.
Tantangan utama UMKM adalah akses terhadap modal, teknologi, dan pasar. Jika pemerintah mampu menyediakan dukungan dalam bentuk insentif, pelatihan digitalisasi, serta akses pasar yang lebih luas, maka UMKM bisa menjadi pilar utama dalam penciptaan jutaan lapangan kerja.
Keenam, industri hijau. Dunia kini bergerak menuju transisi energi bersih. Indonesia memiliki peluang besar dalam pengembangan energi terbarukan, mulai dari tenaga surya, angin, panas bumi, hingga bioenergi.
Industri ini tidak hanya penting bagi keberlanjutan lingkungan, tetapi juga potensial menciptakan lapangan kerja baru, mulai dari teknisi, insinyur, hingga rantai pasok lokal.
Pengalaman negara lain bisa menjadi pembanding menarik. China, misalnya, mampu menyerap ratusan juta tenaga kerja dalam beberapa dekade, melalui industrialisasi besar-besaran, tapi ditopang kebijakan pendidikan vokasi dan pelatihan kerja masif.
Vietnam juga sukses meningkatkan serapan kerja dengan menjadi basis manufaktur global berkat kebijakan investasi yang ramah industri.
Indonesia bisa belajar dari keduanya, yaitu dengan menciptakan ekosistem industri yang kompetitif sekaligus meningkatkan kualitas tenaga kerja agar siap mengisi kebutuhan tersebut.
Sementara itu, India menjadi contoh menarik bagaimana sektor digital bisa menjadi penyerap tenaga kerja.
Gelombang perusahaan teknologi dan outsourcing membuat India melahirkan jutaan pekerja baru di bidang layanan teknologi informasi.
Meski tidak semua bisa ditiru terapkan, pelajaran yang bisa diambil adalah pentingnya menyiapkan tenaga kerja dengan keterampilan digital sejak dini.
Jika kita buat proyeksi, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi rata-rata 5–6 persen per tahun, maka angkatan kerja baru dalam lima tahun mendatang bisa mencapai 12–13 juta orang.
Ditambah pengangguran eksisting, maka kebutuhan penciptaan kerja sekitar 20 juta. Artinya, target 19 juta lapangan kerja yang dicanangkan pemerintah memang sejalan dengan kebutuhan struktural.
Namun, pencapaian ini hanya mungkin bila produktivitas meningkat. Berdasarkan tren sebelumnya, setiap pertumbuhan ekonomi 1 persen mampu menciptakan sekitar 400.000–500.000 lapangan kerja baru.
Jika ekonomi tumbuh 5 persen, maka tambahan pekerjaan sekitar 2 juta–2,5 juta per tahun. Dalam lima tahun, itu sekitar 12 juta—masih jauh dari target 19 juta.
Karena itu, diperlukan strategi ekstra, yaitu bukan hanya mendorong pertumbuhan, tapi juga memastikan pertumbuhan tersebut padat karya dan inklusif.
Sejarah pembangunan Indonesia juga mencatat banyak janji penciptaan lapangan kerja. Pada era Orde Baru, industrialisasi dan proyek infrastruktur menjadi motor penyerap tenaga kerja, meski banyak diwarnai pekerjaan informal dengan upah rendah.
Pada era reformasi, janji penciptaan lapangan kerja selalu muncul, tapi sering terbentur oleh krisis ekonomi global atau ketidakpastian politik.
Presiden-presiden sebelumnya juga menjadikan penciptaan kerja sebagai agenda utama, tapi hasilnya sering kali tidak sebanding dengan harapan.
Janji 19 juta lapangan kerja kali ini memiliki bobot berbeda karena datang di tengah bonus demografi yang sedang berada pada puncaknya.
Jika gagal dimanfaatkan, bonus ini bisa berubah menjadi beban besar. Karena itu, masyarakat memiliki alasan kuat untuk menagih janji ini secara konsisten.
Jika janji penciptaan 19 juta lapangan kerja benar-benar terwujud, dampaknya akan luar biasa besar. Tingkat pengangguran bisa ditekan ke level yang sangat rendah. Daya beli masyarakat meningkat, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif.
Stabilitas sosial juga lebih terjaga, karena pengangguran yang tinggi sering kali menjadi pemicu kerentanan sosial dan kriminalitas.
Namun sebaliknya, bila janji ini tidak terealisasi, risiko yang dihadapi juga besar. Bonus demografi bisa berubah menjadi kutukan demografi, di mana banyak anak muda terdidik tidak memiliki pekerjaan yang layak.
Hal ini bisa melahirkan frustrasi sosial, menekan stabilitas politik, bahkan menghambat laju pembangunan.
Pada akhirnya, menanti janji pemerintah bukan berarti sekadar duduk pasif dan menunggu hasil. Publik, akademisi, dunia usaha, hingga masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mengawal dan memastikan janji ini benar-benar dijalankan.
Pemerintah perlu menjaga transparansi data, konsistensi kebijakan, serta keterbukaan dalam menerima kritik dan masukan.
Dengan cara itu, janji besar ini bisa berubah menjadi capaian nyata yang membawa manfaat luas bagi bangsa.
Harapan masyarakat tentu sederhana, yaitu bahwa janji penciptaan 19 juta lapangan kerja bukan hanya sekadar angka. Melainkan kesempatan nyata bagi jutaan orang untuk meraih kehidupan yang lebih baik.
Bahwa setiap anak muda yang lulus sekolah atau perguruan tinggi tidak lagi dihantui ketakutan tidak mendapat pekerjaan, melainkan yakin bahwa kesempatan selalu terbuka.
Hal yang terpenting ialah pembangunan ekonomi tidak hanya tumbuh di atas kertas, tetapi benar-benar dirasakan hingga ke lapisan masyarakat paling bawah.
Artikel ini telah dipublikasikan di Kompas pada Rabu (20 Agustus, 2025).