Kontekstualisasi Pendidikan Profetik Berbasis Uswah Hasanah
Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Wakil Ketua Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah
Polemik tentang keaslian atau kepalsuan ijazah (dan skripsi) Jokowi semakin memanas dan memasuki babak baru. Ketika masih menjabat sebagai Presiden, kasus itu sempat diredam dengan tangan-tangan kekuasaannya. Akan tetapi, setelah tidak menjadi Presiden, rakyat menggugat. Tidak hanya berkaitan dengan dugaan ijazah palsu, tetapi juga kasus wanprestasi mobil Esemka, dugaan korupsi keluarga besarnya, hingga dugaan instruksi pembunuhan laskar FPI pada KM 50 tol Jakarta-Cikampek. Kasusnya mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Surakarta pada 24 April lalu.
Kasus tersebut tidak saja membuat publik terbelah, memicu aneka kegaduhan sosial, dan banyak menyedot energi bangsa. Mantan Presiden Indonesia ke-7 juga masuk nominasi sebagai finalis tokoh terkorup 2024 versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP). Berita ini semakin menambah daftar panjang “legasi masalah” yang diwariskan olehnya, selain hutang luar negeri pemerintah yang mencapai lebih dari 8.000 Trilyun Rupiah dan pembangunan IKN yang berpotensi mangkrak. Jika berbagai kasus dan skandal tersebut terbukti benar, maka sungguh kita mengalami “kecelakaan sejarah” yang sangat buruk. Indonesia pernah dipimpin oleh seorang Presiden yang sangat bermasalah: tidak jujur, pembohong, korup, tidak cakap, dan pengkhianat rakyat.
Prolog tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan empat hal penting terkait dengan sistem pendidikan kita. Pertama, pendidikan kita, khususnya pendidikan tinggi, belum sepenuhnya mampu melahirkan lulusan yang berintegritas moral tinggi. Lulusan yang bermasalah, seperti tidak jujur, suka berdusta, terbiasa berbohong, mudah mengkhianati janji dan tidak amanah, korup, dan sebagainya mencerminkan bobroknya moralitas. Bukankah koruptor yang sudah banyak ditangkap KPK adalah lulusan perguruan tinggi, termasuk lulusan universitas ternama?
Kedua, sistem pendidikan belum mampu berperan sebagai garda terdepan dalam membentengi akhlak bangsa. Para pimpinan dan pendidik di berbagai kampus belum bisa menjadi role model yang efektif dalam mewarnai keadaban dan peradaban bangsa. Dalam konteks tertentu, sebagian kampus juga terlibat dalam memberikan “layanan palsu, skripsi palsu, ijazah palsu, sarjana palsu, dan gelar akademik palsu”, demi meraup “cuan-cuan” yang dapat memperkaya pihak-pihak tertentu. Kepalsuan akademik dapat berakibat sangat serius: lulusan yang dihasilkan bisa disulap menjadi figur “populis” dengan pencitraannya, seolah menjadi “penyelamat bangsa”, padahal terbukti menjadi penabrak konstitusi dan perusak sistem demokrasi.
Ketiga, sistem pendidikan kita termasuk gagal melahirkan pemimpin nasional yang hebat dengan kompetensi yang mumpuni dan integritas moral yang terpercaya. Pemimpin bangsa cenderung dihasilkan oleh partai politik yang disponsori oligarki. Pemimpin bisa dikarbit dengan duit yang nyaris tidak terbatas. Suara rakyat bahkan bisa dibeli dan diarahkan untuk memilih pemimpin yang mudah dikendalikan. Dengan kata lain, hasil dari proses pendidikan dapat dibelokkan oleh berbagai kepentingan politik yang tidak berpihak kepada rakyat, tetapi cenderung menguntungkan elit dan oligarki. Pendidikan dibajak dan dirusak oleh sistem politik yang niretika, curang, culas, dan nyaris menghalalkan segala cara.
Keempat, menurut Kompas (24/4/2025) indeks integritas pendidikan 2024 turun menjadi 69,50. Berdasarkan Survey Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 yang dilakukan oleh KPK, indikator turunnya integritas pendidikan tersebut terbukti masih banyaknya perilaku koruptif di dunia pendidikan seperti menyontek, plagiat, hingga penyunatan dana BOS. Patut disayangkan, dunia pendidikan yang seharusnya menjadi benteng terakhir nilai-nilai kejujuran dan integritas, tetapi malah menjadi ladang subur praktik tidak etis, tuna moral dan adab sosial.
Mengapa sistem pendidikan kita belum memiliki posisi tawar tinggi dan peran strategis dalam memewarnai kepemimpinan nasional? Bagaimana mendesain sistem pendidikan efektif, baik kurikulum maupun proses pembelajarannya, yang menghasilkan lulusan yang berintegritas moral dan dapat menjadi teladan moral (uswah hasanah) dalam mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan bangsa? Apakah gagasan tujuh kebiasaan anak Indonesia hebat (bangun pagi, taat beribadah, berolahraga, makan sehat dan bergizi, gemar belajar, aktif bermasyarakat, dan tidur cepat) dapat menjadi solusi awal menuju aktualisasi dan kontekstualisasi pendidikan profetik?
Sistem Pendidikan Profetik
Sejarah kehidupan umat manusia selalu terulang. Oleh karena itu, lebih dari 35% ayat-ayat al-Qur’an berisi kisah para nabi dan umat terdahulu. Berbagai kasus penyimpangan moral sejak anak Nabi Adam AS, Qabil membunuh Habil, seorang putra Nabi Nuh AS dan istrinya menentang dakwahnya, pemimpin otoriter Fir’aun, Qarun, Haman, dan Bal’am, hingga kolaborasi Abu Jahal, Abu Lahab dan sebagainya memusuhi Nabi Muhammad SAW, akan berulang lagi. Tujuan utama pengisahan sejarah umat terdahulu adalah agar manusia dapat mengambil pelajaran dan inspirasi, sehingga peristiwa kelam dan penyimpangan moral dapat dieliminasi, sehingga kita belajar untuk tidak mengalami kecelakaan sejarah yang tragis dan memilukan.
Sirah (biografi, perjalanan dan karir kenabian) Muhammad SAW menjadi penting dikaji dan dimaknai dalam konteks pembangunan sistem pendidikan profetik. Beliau tidak hanya mendeklarasikan misi kenabiannya sebagai penyempurna akhlak mulia, tetapi juga diutus sebagai pendidik dan pemimpin inspiratif. “Aku diutus oleh Allah SWT untuk menyempurnakan (pendidikan) akhlak (umat manusia)” (HR Malik). “Aku juga diutus sebagai pendidik (Innama bu’itstu mu’alliman)” (HR. Ibn Majah). Dalam hadis lain, dinyatakan: “Aku diutus bukan sebagai pelaknat, pencaci maki, pembuli, tetapi aku diutus sebagai pembawa ajaran cinta dan kasih sayang” (HR Muslim).
Dalam buku ar-Rasul al-Mu’allim wa Asâlîbuhu fi at-Ta’lîm karya Abdul Fattah Abu Ghuddah (1996), dijelaskan bahwa semua aspek kehidupan Nabi SAW sejak diangkat menjadi Nabi hingga akhir hayatnya merupakan praktik baik (best practice) pendidikan yang dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi dan referensi pengembangan sistem pendidikan. Visi dan misi edukasi Nabi SAW adalah menabur, menanam, menumbuhkan, mengembangkan, dan menebarkan benih kasih sayang bagi seluruh umat manusia. Pendidikan profetik yang diteladankan oleh Nabi SAW adalah pendidikan yang berorientasi kepada pembentukan kepribadian dan akhlak mulia. Hasil didikan Nabi SAW adalah para sahabat yang memiliki integritas kepribadian yang baik, bersikap dan berkarakter positif, dan berperilaku terpuji.
Pendidikan profetik dikembangkan dengan mengintegrasikan tilâwah (pembacaan), tazkiyah (penyucian), dan ta’lîm (pembelajaran). “Allahlah yang telah mengutus kepada bangsa Arab yang tidak mengenal baca-tulis seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri. Rasul tersebut membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dari keyakinan dan perilaku buruk dan mengajarkan mereka al-Qur’ân dan pemahaman agama. Sebelum kedatangan Rasul, mereka berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS al-Jumu’ah/62:2). Esensi tilâwah adalah pembudayaan literasi, kompetensi membaca, dan memahami ayat-ayat Allah. Sedangkan tazkiyah dimaksudkan sebagai liberasi, pembebasan diri dari akidah (sistem teologi) menyimpang (syirik) dan akhlak tercela. Adapun ta’lîm adalah edukasi, pencerdasan, penalaran logis, dan pengajaran berbasis al-Qur’an dan as-Sunnah dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi.
Integrasi tilâwah, tazkiyah, dan ta’lîm (3T) merupakan basis pendidikan profetik yang diorientasikan kepada transformasi, perubahan kepribadian, akhlak, karakter positif, dan perilaku yang beradab, sehingga integritas moral yang beradab pada gilirannya dapat membangun dan mewujudkan peradaban berkemajuan. Pendidikan profetik berbasis 3T tersebut diaktualisasikan dengan kurikulum cinta dan kasih sayang, sekaligus dipandu, dipadu, dan dikawal dengan teladan moral yang baik (uswah hasanah) dari sang pendidik (Nabi SAW).
Bagaimana mendesain dan memandu trasformasi melalui pendidikan profetik yang dilakukan oleh Nabi SAW? Berbasis wahyu dan uswah hasanah, Nabi SAW menyampaikan proses pendidikan profetik melalui proses tau’iyah (penyadaran), tatsqif (pencerdasan), dan tathbiq (implementasi). Penyadaran dilakukan melalui perintah iqra’ (membaca, mengumpulkan informasi, meneliti, memahami ilmu, mengembangkan budaya literari). Penyadaran pentingnya budaya literasi (qira’ah) mendorong peserta didik (para sahabat) berusaha fokus membaca, menghafal, dan memahami ayat-ayat al-Qur’an dan ayat-ayat kauniyyah (semesta raya).
Selama periode Mekkah, orientasi dan fokus utama pendidikan profetik adalah penanaman sistem akidah yang benar, penyucian diri dari sistem teologi yang menyimpang (syirik), penguatan iman, dan restorasi sistem moral yang rusak (akhlak tercela). Dengan penanaman akidah tauhid yang hanif (lurus, benar, dan konsisten), sesuai dengan fitrah kemanusiaan, para sahabat Nabi dibimbing untuk hanya menyembah satu Tuhan, Allah yang Maha Esa; beribadah dan memohon pertolongan hanya kepada-Nya. Fondasi pendidikan profetik tersebut dapat membentengi diri peserta didik dari segala bentuk kemungkaran, kemaksiatan, dan kebobrokan moral. Dengan kata lain, kerusakan dan dekadensi moral disebabkan oleh krisis akidah tauhid. Pendidikan profetik memastikan pentingnya peneguhan akidah tauhid sebagai energi penggerak positif yang memandu sikap dan perilaku moral yang meneladani akhlak sang Khalik sebagaimana tercermin dalam al-Asma’ al-Husna (nama-nama terbaik Allah).
Proses tatsqif (pencerdasan) dalam pendidikan profetik diberikan keteladanan oleh Nabi SAW melalui motivasi kuat dan spirit kebangkitan: bangkit dari tempat tidur, melepas selimut, tidak bermental rebahan, tidak terkungkung dalam zona nyaman (comfort zone). Beberapa ayat pada periode awal kenabian menegaskan penguatan spirit pendidikan profetik berbasis iman fungsional dan moral kebajikan yang aktual. “Hai orang yang berselimut! (Nabi Muhammad SAW). Bangunlah, lalu berilah peringatan (maksudnya ingatkan penduduk Mekah akan ancaman neraka jika mereka tidak mau beriman). Dan Rabbmu agungkanlah! (Agungkanlah Allah dari segala bentuk kesyirikan). Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa (menyembah berhala-berhala) tinggalkanlah). Dan janganlah kamu memberi dengan maksud memperoleh balasan yang lebih banyak. Dan kepada Rabbmu bersabarlah!” (QS al-Muddatstsir/74:1-7)
Kata kunci pencerdasan adalah keyakinan (iman) tauhid dan spirit kebangkitan untuk menyeru kepada hari akhirat (keyakinan eskatologis), takbir (memahabesarkan dan mengagungkan Allah) dengan mengenyahkan sistem keyakinan palsu, memberantas berhala-berhala kehidupan, membersihkan pakaian dari segala bentuk najis dan kotoran, bersih lahir batin, dan meninggalkan perbuatan dosa, termasuk dosa besar (syirik; menyembah berhala). Selain pencerdasan melalui iman dan tauhid yang rasional, pendidikan profetik dibarengi dengan pembentukan mental spiritual yang tangguh. Mentalitas kaya (memberi tanpa berniat mendapat balasan lebih banyak) dan mental baja (sabar) dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan merupakan moralitas pejuang tangguh. Jadi, peneguhan iman dan akhlak mulia menjadi fondasi strategis dalam pendidikan profetik.
Implementasi (tathbiq) iman dan tauhid hakiki dilakukan Nabi SAW dengan menghubungkan adanya kehidupan akhirat, kehidupan setelah kematian. Bahkan para sahabat diingatkan “Dan sesungguhnya hari kemudian (akhirat) itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan, dunia).” (QS adh- Dhuha/93:4). Dan kehidupan akhirat itu memang lebih baik dan lebih kekal” (QS al-A’la/87:17). Penyadaran dan pencerdasan mentalitas kaya dan berorientasi masa depan (kejayaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat) menjadikan para sahabat semakin menyelami makna hidup dan kehidupan yang hakiki. Dengan kata lain, pendidikan profetik itu memandu manusia untuk memaknai kehidupan dengan cahaya iman, ilmu, dan amal shalih dari kegelapan kesyirikan, kekufuran, dan kebejatan akhlak.
Kontekstualisasi Iman, Ilmu, dan Amal
Pendidikan profetik yang direstorasi oleh Nabi SAW dengan uswah hasanah melalui 3T selama kurang lebih 13 tahun di Mekkah dikembangkan dengan internalisasi norma dan nilai hukum dalam bentuk ketaatan beribadah dan kepatuhan terhadap regulasi yang berkaitan dengan kehidupan sosial politik. Melalui kewajiban shalat lima, para sahabat (peserta didik) belajar pentingnya nilai kedisiplinan dan manajemen waktu yang efektif. Pembiasaan shalat berjamaah dengan khusyuk para sahabat dilatih bersatu, bersinergi, dan bersaudara satu sama lain dengan menghayati pesan moral shalat sebagai benteng moral untuk tidak melakukan perbuatan jahat, keji, mungkar, dan aneka kemaksiatan.
Melalui shiyam Ramadhan, para sahabat dibiasakan keluar dari zona nyaman, dengan bangun tidur lebih awal; menjadikan waktu sepertiga malam terakhir sebagai momentum spiritualisasi dengan qiyam al-lail (tahajjud), berdoa, berdzikir, beristighfar, sekaligus memakmurkan masjid dengan shalat subuh berjamaah. Melalui ibadah Ramadhan pula, pendidikan profetik mengedukasi umat Islam untuk belajar sabar, mengendalikan diri, mengelola hawa nafsu, melawan dan memenangi godaan setan, sekaligus belajar beretika sosial dengan berbagi kegembiraan dan rezeki, bersedekah, berinfaq, dan berzakat. Etos kedermawanan dan filantropi sosial ini melahirkan pribadi-pribadi yang berintegritas (bertakwa) dan yang sudah selesai dengan urusan dirinya.
Dengan implementasi zakat fitri dan zakat mal (harta), para sahabat dididik oleh Nabi SAW untuk memiliki kepedulian sosial, sekaligus mengenyahkan penyakit mental (kikir), sehingga dalam sistem sosial yang multikultural itu terbangun budaya saling memberi. Muzakki memberi donasi kepada yang berhak menerima (mustahiq); sedangkan mustahiq mendoakan muzakki. Dengan menunaikan zakat, integrasi ibadah personal (individual) dan penunaian zakat (ibadah mal dan sosial) membuahkan kesejahteran ekonomi dan keadilan sosial. Jadi, pendidikan profetik itu tidak sekadar membangun ketangguhan iman dan kekuatan ilmu, tetapi juga mengembangkan amal shalih (sosial) dan akhlak mulia melalui ketaatan beribadah dan kebiasaan-kebiasaan positif sebagai hasil riyadhah aqliyyah ruhiyyah (latihan mental spiritual).
Selama 10 tahun di Madina, kurikulum pendidikan profetik yang diorientasikan kepada pembangunan masyarakat dan negara kota yang harmoni, sejahtera, bahagia, adil, dan Makmur. Dengan kata lain, pendidikan profetik dikembangkan berbasis uswah hasanah dalam rangka mewujudkan peradaban iman, ilmu, amal shalih, dan akhlak mulia dengan inspirasi dan kasih sayang Nabi. Puncak dari implementasi kurikulum cinta dan kasih sayang Nabi SAW adalah pelaksanaan haji Wada’, di mana dalam berbagai orasinya, beliau mengedukasi umatnya untuk memahami dan mengamalkan nilai-nilai Hak-hak Asasi Manusia (HAM), seperti nilai persamaan, keadilan, kesetaraan, antidiskriminasi, antikekerasan, menghargai hak milik (properti) orang lain, dan sebagainya.
Pertanyaannya kemudian adalah “Bagaimana kontekstualisasi teladan Nabi dalam pendidikan profetik itu agar dapat diwujudkan dalam sistem pendidikan kita dewasa ini?” Jawaban konseptual dan operasionalnya sederhana. Pertama, kita harus memperbarui integrasi syahadat tauhid dan syahadat ar-Rasul kita. Artinya, apabila kita telah rela (ridha dan ikhlas) berislam, maka ajaran Islam itu harus dipandang sebagai manhaj (sistem dan metode) holistik integratif dalam menjalani kehidupan secara komprehensif dan sesuai dengan kemampuan. Dengan pemaknaan sederhana, bertakwa itu tidak hanya di bulan Ramadhan atau di masjid saja, tetapi harus diaktualisasikan sepanjang hayat. Mengamalkan ajaran Islam itu perlu istiqamah, konsisten, dan tegus pendirian, tidak setengah-setengah, dan tidak dipilih sesuai selera subyektif. Tidak bermaksiat itu harus di mana saja dan kapan saja. Takut kepada (azab) Allah itu harus tertanam dalam hati, sehingga membuahkan akhlak terpuji: tidak maksiat dalam berinteraksi sosial dan tidak korupsi dalam berpolitik.
Dengan syahadat ar-Rasul, kita harus belajar meneladani sunnah (sistem kehidupan dan tradisi baik) Nabi SAW melalui pengkajian dan pendalaman sirahnya. Sirah Nabawiyyah merupakan sumber nilai dan inspirasi yang dapat menjadikan ajaran Islam itu operasional dan aktual, tidak kehilangan makna historis dan strategisnya. Ditandatanganinya Mîtsâq al-Madînah dan Shulh al-Hudaibiyah, misalnya, mebuktikan dan memberikan wawasan sosial politik bahwa Islam itu cinta damai, mendahulukan perdamaian daripada perang dan konflik sosial. Islam itu agama paling toleran dan menghargai perbedaan. Islam itu agama paling terdepan dalam memberi teladan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan.
Kedua, rekonstruksi dan reformasi sistem pendidikan profetik penting dilakukan dengan terus mengkaji dan mendalami best practice bagaimana Nabi SAW mendidik, melatih, membiasakan, menguatkan, dan membentuk karakter dan kepribadian para sahabat. Model komunikasi dan interaksi sosial yang dilakukan Nabi SAW dalam mewujudkan transformasi edukatif sehingga dapat memengaruhi dan merubah perilaku para sahabatnya menjadi berakhlak mulia. Kesuksesan Nabi SAW sebagai pemimpin pendidik dengan uswah hasanah merupakan kata kunci yang membingkai sistem pendidikan profetik.
Ketiga, penguatan orientasi masa depan pendidikan profetik yang diteladankan Nabi SAW dibangun di atas fondasi nilai-nilai ketuhanan (akidah tauhid yang benar), nilai-nilai kemanusiaan (mentalitas kaya, simpati, peduli, menghargai kebinekaan, cinta damai, toleran, harmoni), dan nilai-nilai akhlak mulia (jujur, amanah, sabar, peduli, ikhlas, cinta berbagi dan memberi). Pendidikan profetik berbasis uswah hasanah diikat-erat dengan tali persatuan dan spirit berjamaah berbasis masjid.
Keempat, sistem pendidikan profetik yang dikembangkan Nabi SAW itu bervisi mulia dan universal, yaitu pemajuan peradaban rahmatan lil 'alamin. Pendidikan profetik tidak hanya membentuk peserta didik yang memiliki integritas moral yang kuat, tetapi juga berwawasan dan berorientasi membangun peradaban umat dengan agenda utama mewujudkan khaira ummah (umat terbaik) yang menjadi sakaguru baldah thayyibah wa Rabbun ghafur (negeri yang baik, sejahtera, adil dan Makmur, sekaligus mendapat ridha dan ampunan dari Allah SWT).
Kelima, kontekstualisasi pendidikan profetik di era digital dan era disrupsi ini mengharuskan kita semua berkolaborasi dalam rangka membumikan maqâshid as-syarî'ah (tujuan pembumian syariah: menjaga dan mengembangkan nilai-nilai agama, pencerdasan akal sehat, pemeliharaan jiwa, kehormatan, properti, lingkungan, dan kemanusiaan), dan mewujudkan peradaban dunia yang adil, makmur, dan berkemajuan.
Kunci sukses aktualisasi dan kontekstualisasi pendidikan profetik terletak pada figur teladan (pemimpin, pendidik, pengembang pendidikan, orang tua, media sosial, dan sebagainya) sebagai referensi dan sumber inspirasi dalam mewujudkan sistem sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, moral, dan sistem lainnya yang terintegrasi dan terkoneksi nilai-nilai ketuhanan, nilai ihsan (merasa diawasi oleh Allah) sekaligus berorientasi taqarrub ila Allah (pendekatan diri kepada Allah). Dengan demikian, pendidikan profetik berbasis uswah hasanah itu tidak sekadar menanam dan menyemai benih kehidupan melalui proses pembelajaran mendalam (deep learning) dan bermakna (meaningful learning), tetapi juga merawat, menumbuhkembangkan, dan memajuakan peradaban luhur melalui sentuhan komunikasi profetik dan keteladanan moral yang baik dari semua pihak! Selamat memaknai hari pendidikan nasional, semoga sengkarut pendidikan kita dapat direstorasi dengan mengambil inspirasi dari sistem pendidikan profetik!
(Artikel ini telah di-publish di Majalah Tabligh Edisi Nomor 5/X X I I I )