Internasionalisasi Islam Ala Presiden Prabowo

Internasionalisasi Islam Ala Presiden Prabowo

Prof. DR. Imam Subchi.

Wakil Rektor II UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Secara historis, keberadaan santri, kiai, dan pondok pesantren tidak bisa disangkal dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia. Hal ini terekam dari kontribusi para kiai dan santri yang telah mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari negara koloni yang telah mengekspansi geografis Indonesia.

Dengan demikian, eksistensi entitas sosial tersebut tentu saja menjadi atensi utama pemerintah terhadap para santri dan kiai, terutama setelah ditetapkannya Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri. Di samping itu, eksistensi dari para santri dan kiai juga bukan hanya sekadar menjadi atensi pemerintah semata, melainkan menjadi atensi secara ekstensif dari para politisi yang sedang berupaya memperoleh dukungan politik dari kiai dan santri.

Tak ayal, seringkali pergumulan sosial tersebut muncul dalam ruang publik, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Habermas mengenai arena sosial. Kemudian, di mana para politisi menjalin ikatan sosial dengan berkunjung ke pondok pesantren yang dipimpin oleh seorang kiai yang memiliki para santri. Hal ini ditengarai karena posisi kiai memiliki karisma dan kompetensi yang baik, termasuk memiliki para santri. Pada umumnya, para santri akan mengikuti ucapan dari para kiai – di mana mereka menimba ilmu pengetahuan. 

Oleh karena itu, sudah barang tentu para politisi dan pemerintah berupaya untuk mengakomodasi kepentingan para santri dan kiai yang sudah membela dan mempertahankan Indonesia, salah satunya melalui peringatan Hari Santri Nasional yang selalu digelar secara reguler, terutama pada tanggal 22 Oktober. 

Dalam hal ini, tanggal 22 Oktober tersebut menjadi simbol sosial – karena Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Santri merujuk pada satu peristiwa yang penting dari dinamika kebangsaan, seperti resolusi jihad yang telah disampaikan oleh K.H Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 untuk menentang negara koloni.

Jadi, keberadaan para kiai dan santri dalam percakapan sosial ini menjadi substantif karena berhasil melakukan perlawanan vis a vis terhadap negara koloni tersebut, sekaligus bisa mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Komitmen pemerintah untuk memerhatikan para kiai dan santri juga dewasa ini dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto. Secara faktual, Presiden Prabowo Subianto juga memiliki atensi yang besar terhadap entitas sosial ini dengan membentuk Direktorat Jenderal Pesantren di bawah Kementerian Agama. Hal ini untuk memberikan pelayanan Pendidikan yang komprehensif dan menjamin keamanan para santri, terlebih pondok pesantren yang ada di Indonesi tampak relatif besar. Tercatat, pada tahun 2025 terdapat 42.391 Pondok Pesantrendi Indonesia yang terkluster pada ponpes tradisional dan modern. Pondok pesantren yang berbasis tradisionalis terekam sebanyak 24.634 dan 16.036 pondok pesantren modern (Kementerian Agama, 2025).

Bahkan, Presiden Prabowo Subianto melalui Menteri Sekretaris Negara mengatakan bahwa pemerintah akan memberikan perhatian yang lebih bagi pondok-pondok pesantren, yang tercatat hari ini berjumlah kurang lebih 42.000 pondok pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia. Pada saat yang sama, perhatian tersebut juga mengarah kepada ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekonomi. Hal ini yang saat ini menjadi concern pemerintah, terutama yang sedang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto. 

Secara umum, pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren ini secara eksplisit menunjukkan komitmen pemerintah terhadap para santri di Indonesia, agar bisa menjadi pemimpin yang memiliki kompetensi, kapasitas, dan kapabilitas yang unggul di tengah persaingan global. Oleh karena itu, komitmen pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren ini juga secara inheren direspons secara cepat oleh Menteri Agama Nasaruddin Umar dengan adanya kehadiran surat bernomor B-617/M/D-1/HK.03.00/10/2025 pada 21 Oktober 2025. Dalam hal ini, pembentukan ditjen, menurut Menteri Agama Nasaruddin Umar untuk mengonsolidasikan pondok pesantren di seluruh Indonesia, agar bisa terdata dengan baik. Hasilnya, jika data sudah terintegrasi tentu saja pemerintah akan dengan mudah memberikan pelayanan dan menjaga para santri tersebut, terutama dalam konteks ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekonomi, sebagaimana yang telah disampaikan di awal. 

Kepedulian Presiden Prabowo Subianto sekaligus Menteri Agama Nasaruddin Umar serta para aktor yang telah mengusulkan pembentukan ini sedari awal tentu memiliki prospek yang besar terhadap para santri dan pondok pesantren, terutama diharapkan bisa meningkatkan kompetensi para santri di tengah peradaban kontemporer yang semakin kompleks, terlebih di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, Indonesia menjadi negara yang sangat aktif di kancah internasional. Isu Islam dan kemanusiaan senantiasa disuguhkan menjadi sajian penting terhadap permasalahan dunia yang kian kompleks. Sehingga, Presiden Prabowo Subianto yang merepresentasikan Indonesia di forum-forum internasional semakin dihormati karena menempatkan kemanusiaan di atas segalanya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh K.H Abudurrahman Wahid (Gus Dur). Dengan kata lain, kepedulian Presiden Prabowo Subianto ini relevan terhadap nilai-nilai politik domestik.

Nilai-nilai politik ini bahkan merambah ke sektor yang juga substantial seperti keterlibatannya dalam forum-forum internasional untuk mengagregasi kepentingan muslim secara keseluruhan. Tak ayal, jika Presiden Prabowo meyakini secara sungguh-sungguh makna kemanusiaan internasional. Sebagai tokoh bangsa yang telah malang-melintang di mancanegara, ia memahami bahwa Indonesia tidak bisa hidup mengurus masalahnya sendiri. Cakrawala berpikir anak bangsa perlu dibuka lebar-lebar agar terhubung pada komunitas internasional. Publik pun bersuka cita dengan capaian ini. Sedikit banyaknya akan berdampak pada posisi tawar Indonesia di ranah global. 

Pada saat yang sama, Presiden gencar menggaungkan internasionalisasi Islam sebagai sebuah paradigma diplomasi yang strategis. Sebagai negara dengan modal sosial berupa populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki legitimasi alamiah untuk mempromosikan wajah Islam yang moderat dan inklusif di panggung global. Paradigma ini tidak sekadar menjadikan Islam sebagai identitas, melainkan sebagai aset soft power yang dapat ditransformasikan menjadi pengaruh politik dan kultural. Presiden juga tentu menyadari untuk terlibat secara intensif dalam forum-forum internasional tersebut, ia perlu mengonsolidasikan kelembagaan pesantren terlebih dahulu secara ekstensif. Dengan demikian, melalui pembentukan ditjen ini diharapkan bisa mengintegrasikan dimensi-dimensi utama tersebut secara detail. 

Melalui konsep Islam Nusantara yang mengedepankan nilai-nilai toleransi, kearifan lokal, dan keseimbangan antara tradisi dengan modernitas, Indonesia berusaha menawarkan alternatif narasi terhadap wacana keislaman global yang kerap diwarnai polarisasi. Inisiatif-inisiatif konkret seperti menjadi mediator konflik di dunia Muslim, memprakarsai forum kemanusiaan Islam, dan memperkuat kerja sama pendidikan antarmadrasah merupakan manifestasi dari paradigma ini. 

Ide Islam dan kemanusiaan menjadi isu sentral yang tidak lekang zaman. Tentu ini tidak berhenti pada tahap konsep. Presiden dan pemerintahannya mendorong ini ke level selanjutnya dan dikerjakan dalam kurun waktu yang tergolong cepat. 

Kerja Keras 

Hal yang paling kentara dilakukan Presiden Prabowo yaitu bentuk dukungan paling riil dan berprinsip adalah advokasinya yang vokal di panggung global untuk kemerdekaan Palestina. Sebelumnya, pada tahun 2023 sebagai Menteri Pertahanan, ia secara konsisten menegaskan dukungan Indonesia terhadap keanggotaan penuh Palestina di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada September 2023, pidatonya di Sidang Umum PBB ke-78 menjadi bukti konkret dari komitmen ini, di mana ia tidak hanya menyuarakan solidaritas, tetapi secara tegas memperjuangkan legitimasi dan kedaulatan Palestina di hadapan masyarakat internasional.

Lebih dari sekadar dukungan politik, Prabowo juga terlibat langsung dalam upaya kemanusiaan dan rekonstruksi untuk rakyat Palestina. Pada Februari 2024, dalam sebuah aksi yang sangat signifikan, Indonesia di bawah kepemimpinannya sebagai Menteri Pertahanan ditunjuk sebagai Co-Chair Konferensi Donor RECAAP (Reconstruction Committee for the Agreement on the Reconstruction of the Gaza Strip).

Posisi strategis ini memungkinkan Prabowo untuk memimpin upaya internasional dalam menggalang dana dan merencanakan pembangunan kembali Gaza yang hancur karena perang

Momen diplomasi publik yang paling mencolok terjadi pada bulan Mei 2024, ketika Prabowo, yang kala itu telah terpilih sebagai Presiden dan sedang menunggu pelantikan, berpidato pada Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Riyadh. Pada forum solidaritas Islam tertinggi ini, ia tidak hanya mengutuk ketidakadilan, tetapi secara spesifik menyerukan gencatan senjata segera dan mendesak akses tanpa halangan untuk bantuan kemanusiaan, disertai tawaran bantuan tenaga medis Indonesia.

Untuk memperkuat posisinya pasca pelantikan, Prabowo menjalankan diplomasi langsung pada akhir Mei hingga awal Juni 2024 dengan melakukan kunjungan ke sejumlah ibu kota negara kunci di Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Mesir. Kunjungan-kunjungan ini menjadi saluran penting untuk membahas perkembangan terakhir mengenai Palestina dan membangun konsensus di antara negara-negara anggota OKI.

Langkah diplomatik yang paling berani dan strategis adalah kehadiran Prabowo pada pertengahan Juli 2024 pada KTT NATO di Washington D.C. Di hadapan forum yang secara tradisional didominasi oleh sekutu-sekutu utama Israel, ia dengan lantang menyampaikan keprihatinan dan posisi dunia Islam mengenai konflik Palestina. Keberanian untuk membawa suara yang seringkali berseberangan langsung ke jantung markas politik Barat ini adalah implementasi nyata dari visinya untuk menjadi "jembatan" atau penghubung.

Selain itu, tercatat pada tanggal 12-14 Januari 2025, Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Menteri Negara-Negara Berkembang Muslim di Bali. Dalam pembukaan forum, Presiden  memperkenalkan inisiatif "Ketahanan Pangan Berbasis Umat" yang mengintegrasikan sumber daya Timur Tengah dengan kapasitas pertanian Indonesia. Forum ini menghasilkan komitmen bersama untuk membentuk kelompok kerja teknis yang akan melakukan pertemuan pertamanya di Jakarta pada April 2025.

Setelah itu, terutama pada tanggal 3-5 Maret 2025, Presiden Prabowo melakukan kunjungan kenegaraan ke Pakistan dan Bangladesh. Di Islamabad, beliau secara resmi meluncurkan "Inisiatif Kemitraan Pendidikan Pesantren Modern" yang mencakup pertukaran 200 pelajar perdana dan program sertifikasi guru madrasah. Kesepakatan implementasi program ini ditandatangani di Dhaka dengan jadwal pelaksanaan dimulai pada tahun ajaran baru Juli 2025.

Beberapa waktu berselang, tepatnya 20 Mei 2025, Indonesia menyelenggarakan KTT Darurat OKI di Jakarta sebagai respons terhadap krisis kemanusiaan di Afrika. Dalam pertemuan tersebut, Presiden Prabowo berhasil menggalang komitmen awal pembentukan Dana Kemanusiaan Islam untuk Afrika, dengan komitmen tahap pertama sebesar 200 juta dolar AS dari berbagai negara anggota. Indonesia sendiri berkomitmen menyumbang 20 juta dolar AS sekaligus menjadi trustee dana tersebut.

Menjelang akhir semester pertama 2025, tepatnya 18 Juni 2025, Presiden Prabowo menghadiri KTT G20 di Riyadh dengan membawa agenda khusus "Framework for Islamic Green Finance". Proposal ini mendapat respons positif dari beberapa negara anggota dan menghasilkan kesepakatan untuk membentuk tim perumus bersama yang dijadwalkan menyelesaikan draf ini pada Kuartal I 2026.

Pada awal semester kedua, 12 Agustus 2025, Kementerian Luar Negeri mengumumkan keberhasilan diplomasi Indonesia dalam memfasilitasi pertemuan pendahuluan antara perwakilan kelompok konflik Sudan. Pertemuan yang diselenggarakan di Bogor ini merupakan hasil dari diplomasi jalur kedua yang dilakukan sejak Maret 2025, dan menghasilkan kesepakatan untuk melanjutkan pembicaraan di tingkat teknis pada Oktober 2025 di Doha.

Pelbagai kerja strategis di atas merupakan sekelumit kegiatan yang menumbuhkembangkan kepercayaan publik akan politik Islam internasional Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Prabowo. Ini juga akan mendorong diskusi ke ranah selanjutnya, tentang tiga strategi internasionalisasi Islam lanjutan guna menghadapi gelombang perubahan politik internasional yang lantang berjalan. 

Strategi 

Dalam menghadapi perubahan politik internasional yang kian masif, Indonesia hendaknya mengembangkan tiga strategi internasionalisasi Islam berkelanjutan yang relevan dan adaptif. Pertama, strategi diplomasi kemanusiaan berbasis nilai-nilai Islam universal. Indonesia konsisten memposisikan diri sebagai mediator dalam konflik-konflik di dunia Muslim, seperti yang tercermin dalam upaya penyelesaian konflik di Sudan dan pembentukan Dana Kemanusiaan Islam untuk Afrika. Strategi ini mampu bertahan dalam gejolak politik internasional karena berbasis pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang lintas-blok politik, menjadikannya acceptable bagi berbagai pihak baik dari Blok Barat maupun Timur.

Kedua, pengembangan ekonomi syariah sebagai instrumen soft power. Indonesia aktif mempromosikan Framework for Islamic Green Finance dalam forum G20 dan berbagai kerja sama bilateral. Strategi ini menunjukkan ketahanan menghadapi perubahan geopolitik karena menyentuh kepentingan praktis berbagai negara, menggabungkan prinsip keuangan syariah dengan agenda pembangunan berkelanjutan yang menjadi concern global. Pendekatan ini memungkinkan Indonesia membangun aliansi strategis yang tidak terbatas pada polarisasi politik tertentu, melainkan berdasarkan mutual economic benefits.

Ketiga, diplomasi pendidikan dan pertukaran budaya Islam moderat. Melalui inisiatif seperti Kemitraan Pendidikan Pesantren Modern dengan berbagai negara, Indonesia membangun jaringan intelektual dan kultural jangka panjang. Strategi ini memiliki sustainability yang tinggi karena bekerja pada level masyarakat (people-to-people connection) yang relatif lebih stabil dibandingkan hubungan politik pemerintah. Dalam menghadapi fluktuasi politik internasional, jaringan kultural ini menjadi semacam shock absorber yang menjaga kontinuitas engagement Indonesia dengan dunia Islam global.

Ketiga strategi ini menunjukkan kemampuan adaptasi Indonesia dalam membaca tren global sekaligus mempertahankan prinsip dasar diplomasi Islamnya. Yang menarik, ketiganya saling memperkuat - diplomasi kemanusiaan membuka akses politik, ekonomi syariah memberikan konten substantif, sementara diplomasi pendidikan memastikan sustainability engagement. Namun, tantangan terbesar tetap pada konsistensi implementasi dan kemampuan menjaga kredibilitas Indonesia sebagai aktor yang netral dan legitimatif di tengah kompetisi kepentingan global yang semakin kompleks.

​Dengan demikian, komitmen Presiden Prabowo Subianto terhadap nilai-nilai kemanusiaan, terutama pada dimensi santri, dan pondok pesantren telah dilakukannya secara intensif, baik dalam skala nasional maupun global. Komitmen ini bukan sekadar ucapan semata, melainkan dilakukan secara sungguh-sungguh. Sebagaimana yang terlihat pada peringatan Hari Santri 2025 ini, di mana akan terbentuknya Direktorat Jenderal Pesantren. 

Artikel ini telah dipublikasikan di Rakyat Merdeka.id pada Jumat (24 Oktober, 2025)