Hayatan Thayyibah
Oleh Prof Dr Masri Mansoer MA
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dan dia beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan pasti akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS al-Nahl: 97).
Hidup ini adalah sebuah takdir. Memilih jalan yang baik serta mengisi jalan hidup dengan melakukan berbagai kegiatan amal shaleh dan kebaikan adalah suatu keniscayaan, kalau kita ingin memperoleh kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Karena untuk mendapatkan kehidupan yang thayyib (baik) di dunia dan nanti di akhirat bukanlah hadiah dari Allah tetapi sesuatu yang perlu diusahakan (ikhtiar). Manusia akan memperoleh apa yang dia usahakan dan hasil usahanya itu akan diperlihatkan dan dibalasi di sini dan nanti di akhirat bahkan tidak ada yang tersembunyi (QS al-Najm:9-41).
Dalam logika kita mengenal dua bentuk proposisi yaitu: proposisi deskriptif dan proposisi hipotesis. Proposisi hipotesis adalah proposisi yang merupakan sebab akibat. Dalam al-Qur’an banyak redaksi ayat menunjukan cara berpikir hipetesis atau kausalitas, ada sebab ada akibat, ada antiseden dan konsekuen, ada usaha baru ada hasil atau buah dari usaha, seperti ayat 97 surat al-Nahl di atas.
Dari ayat di atas tergambar ada usaha (ikhtiar) manusia adalah beramal shaleh dan beriman (antisedennya), maka niscaya akan diberikan kehidupan yang thayyib (baik) dan pahala yang lebih baik dari apa yang dikerjakan (konsekuen). Bahkan balasan kebaikan yang tiada putus-putusnya. Itulah tanda rahman dan rahim Allah SWT, sebagaimana firman-Nya: “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya” (QS al-Tin: 6).
Al-Raghib al-Isfahani berkata: sesuatu disebut thayyib (baik) adalah sesuatu yang benar-benar baik (sempurna). Pada dasarnya, kata ini berarti sesuatu yang dirasakan enak oleh indera dan jiwa. Al-Thayyibah adalah bentuk jamak dari thayyib, yang diambil dari derivasi thaba-yathibu-thayyib-thayyibah: sesuatu yang benar-benar baik maka disebut thayyib. Kata ini memiliki banyak makna; (1) Zaka wa thahara (suci dan bersih); (2) Jada wa hasuna (baik dan elok); (3) ladzdza (enak); (4) menjadi halal.
Thayyib (baik) adalah sesuatu yang dirasakan enak oleh indera atau jiwa, atau segala sesuatu selain yang menyakitkan dan menjijikkan. Al-Qur’an menyebutkan kata ‘al-thayyib’ ini berulang sebanyak 26 kali. Pertama, bentuk mufrad mudzkakkar (laki-laki tunggal), sebanyak empat kali digunakan sebagai sifat makanan halal, yaitu dalam surat al-Baqarah: 168 (halalan thayyiban), al-Maidah: 88 (halalan thayyiban), al-Anfal: 69 (halalan thayyiban), dan an-Nahl :114 (halalan thayyiban). Selain itu, juga disebut sebanyak dua kali untuk menjelaskan tanah atau debu (sebagai syarat tayamum) dan tidak ada kaitannya dengan makanan, yaitu dalam surat an-Nisa: 43 (sha’idan thayyiban) dan al-Maidah: 6 (sha’idan thayyiban).
Kedua, bentuk mufrad muannats (perempuan tunggal), yaitu ‘thayyibah’ sebanyak sembilan kali. Semuanya disebutkan sebagai kata sifat untuk sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan makanan, yaitu dalam surat Ali Imran: 38 (dzurriyah thayyibah), at-Taubah :72 (masakin thayyibah), Yunus: 22 (birihin thayyibah), Ibrahim: 24 (kalimah thayyibah), Ibrahim: 24 (syajarah thayyibah), dan al-Nahl: 97 (hayatan thayyibah).
Ketiga dalam bentuk jamak, yaitu “thayyibah”, Al Quran menyebutkan sebanyak 21 kali. Semuanya merujuk pada 4 pengertian : sifat makanan, sifat usaha atau rezeki, sifat perhiasan, dan sifat perempuan.
Berdasarkan paparan di atas, makna ‘thayyib’ secara syar’i di dalam al-Qur’an merujuk pada tiga pengertian, yaitu sesuatu yang tidak membahayakan tubuh dan akal pikiran, sebagaimana pendapat Imam Ibn Katsir. Sesuatu yang lezat, sebagaimana pendapat Imam Syafi’i. Halal, yaitu sesuatu yang suci, tidak najis, dan tidak diharamkan, sebagaimana pendapat Imam Malik dan Imam al-Thabari.
Ayat di atas berisi penegasan bahwa ajaran Islam tidak membedakan iman dan amal shaleh berdasarkan gender, tetapi berdasarkan niat atau keikhlasan. Allah SWT akan memberikan hayatan thayyibah atau kehidupan yang baik kepada siapa saja, laki-laki dan wanita yang beramal shaleh dan beriman. Sebab tidak semua amal shaleh itu akan mengantarkan kepada hayatan thayyibah, kalau bukan dasarnnya iman. Kalua demikian apa maksud dari hayatan thayyibah itu?
Ibnu Abbas dan sejumlah ulama, mereka menafsirkan hayatan thayyibah dengan pengertian rezeki yang halal lagi baik. Ali bin Abu Talib, menafsirkan hayatan thayyibah dengan pengertian al-qana'ah (puas dengan apa yang diberikan kepadanya) dan kebahagian yaitu kehidupan yang menyenangkan-kehidupan di surga. At-Tarmizi mengatakan, hayatan thayyibah ialah rezeki yang halal dan kemampuan beribadah dalam kehidupan di dunia, yaitu dengan mengamalkan ketaatan dan hati yang merasa lega dalam mengerjakannya.
Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad Nabi Muhammad SAW bersabda: Sesungguhnya beruntunglah orang yang telah masuk Islam dan diberi rezeki secukupnya serta Allah menganugerahkan kepadanya sifat qana'ah terhadap apa yang diberikan kepadanya. Imam Turmuzi dan Imam Nasai telah meriwayatkan Nabi bersabda: Sesungguhnya beruntunglah orang yang diberi petunjuk kepada Islam, sedangkan rezekinya secukupnya dan ia menerimanya dengan penuh rasa syukur.
Jadi Hayatan thayyibah adalah kehidupan yang baik di dunia dan nanti kehidupan surgawi di akahirat nanti. Kehidupan yang thaiyib di dunia adalah kehidupan yang diliputi rasa kebahagiaan, gembira, senang dan rasa qana`ah (menerima dan merasa cukup apa adanya rezki yang diberikan Allah setelah diusahakan secara halal) sehingga seseorang menjadi tenang dan syakur dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Ciri-ciri Kehidupan yang Baik (Thayyib) adalah, pertama, kehidupan yang dilandasi ketauhidan dan keikhlasan. Akidah ketauhidan atau keimanan kepada Allah SWT adalah dasar dan pondasi kehidupan dalam Islam. Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang segala orientasi hidupnya hanya dilandaskan pada nilai-nilai ketauhidan dan keikhlasan kepada Allah SWT sebagaimana firman-Nya “Katakanlah: “Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” (QS: al-An`am: 162).
Kedua, kehidupan yang selalu memberi dampak positif atau bermanfaat kepada orang lain dan semesta. Amal shaleh adalah amal perbuatan yang dilakukan manusia yang membawa dampak positif atau manfaat pada dirinya dan juga pada orang lain dan kehidupan lainnya. Bukan amal yang justru memberi madharat bagi dirinya dan orang lain. Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi orang lain”.
Ketiga, kehidupan yang dipenuhi dengan rizki yang halal. Setiap manusia membutuhkan rizki berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Untuk itu, manusia mukmin harus mencari nafkah dengan berbagai usaha yang halal dan diridhai Allah. Bagi seorang muslim, terpenuhinya rizki secara halal dan baik merupakan prinsip hidup dan karakter mereka. Allah SWT berfirman: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS: al-Baqarah: 168).
Keempat, kehidupan yang dilandasi oleh rasa syukur dan sikap qanaah serta ridha Allah. Semua yang telah diusahakan dengan baik dan dilandasi dengan iman dan ilmu apapun hasilnya diteriman dengan rasa syukur dan qanaah. Ketika sikap dan perilaku ini terus menjadi karakter kita maka Allah berjanji akan menambah nikmat itu kepada kita, seperti firman Allah ”Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS Ibrahim: 7).
Salah satu makna syukur adalah qana’ah yaitu sikap ridha bil qismi, ridha atas pembagian yang telah Allah anugerahkan kepadanya. Nabi bersabda: “Sungguh beruntung, orang yang telah berislam, diberi rejeki yang cukup, lalu Allah menjadikannya qana’ah atas apa yang Dia karuniakan kepadanya” (HR Muslim).
Kelima, Kehidupan yang selalu diliputi kebahagiaan dan Ketenangan karena terhindar dari dosa dan maksiat. Berapapun rezki yang halal kita dapat diterima dengan qanaah, pasangan hidup yang shaleh-shalehah kita rawat dengan baik, anak keturunan yang shaleh kita pelihara dengan amanah, tempat bekerja yang baik kita syukuri dan lain sebagainya. Semuanya kita terima dengan Bahagia dan gembira.
Kita berusaha menjauhkan diri dari dosa dan maksiat sebab perbuatan dosa menjadi faktor kegelisahan dan ketidak tenangan, bahkan dapat mmendatangkan berbagai penyakit terhadap kita, disebut dalam hadits Rasulullah SAW: Dosa adalah sesuatu yang menggelisahkan dalam hati seseorang, sedangkan ia tidak setuju kalau hal itu diketahui oleh orang lain (HR. Ahmad).
Mari kita gelorakan spirit hayatan thayyibah ini dalam kehidupan kita sebagai individu, kelompok, masyarakat, negara dan bangsa agar kita secara bersama-sama mendapatkan kebaikan hidup di dunia ini secara ekonomi, sosial, politik, budaya dan lain sebagainya, utamanya pada masa kehidupan musibah pandemi Covid-19 yang telah memporak-porandakan semua lini kehidupan memanggil kita untuk saling membantu, tolong menolong, berbagi dan kerja sama menghadapi musibah ini. Mudah-mudahan Allah SWT senantiasa membimbing dan melimpahkan kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) bagi kita semua. Aamiin ya rabbal ‘alamiin. Wallahu’alam. (Ed: ns)
* Penulis adalah Guru Besar Fakultas Ushuluddin dan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. ** Artikel iihat juga di /https://youtu.be/Mr7a2tzV-Uc