Generasi Tanpa Sejarah

Generasi Tanpa Sejarah

Ada sesuatu yang berbeda dalam konteks sosial-budaya per-generasi-an saat ini. Generasi Z, yang lahir dari rahim digital, hadir di dunia dengan keheningan sejarah. Seperti “allien”, mereka adalah entitas yang, dengan getir, bisa disebut sebagai "generasi tanpa sejarah."

Tak seperti generasi tiga atau empat dekade sebelumnya, mereka tidak lagi hidup membaur dalam alur tradisi konvensional-trandisional-formal.

Seperti kita saksikan, generasi ini lahir di tengah derasnya arus modernisasi brutal, yang telah mencabut pakar akar mereka dari narasi masa lalu. Kemudian secara membabi-buta, dibiarkan hidup menggenang dalam ruang baru bernama “realitas digital”.

Bagi generasi ini, sejarah tidak lagi menjadi semacam pusaka yang diwariskan, melainkan fragmen-fragmen asing yang sering kali tak berarti.

Mereka mengunyahnya dalam berbagai slide frame gambar. Dalam ragam video pendek tiga puluh detik dengan narasi kocak. Alasannya: generasi ini tidak akan kuat disuguhi beban tontonan panjang, apalagi buku bacaan.

Generasi ini berdiri di atas reruntuhan dunia lama—dunia yang serba post: posmo, post truth, post factum dan sejumlah “post” lain yang menunggu kelahiran.

Mereka hadir di era di mana digitalisasi bukan lagi proses bertahap, tetapi sebuah revolusi senyap yang merasuk hingga ke nadi kehidupan.

Dari detik mereka membuka mata hingga malam menjelang, dunia mereka dihantui layar-layar yang memancarkan informasi tanpa henti.

Amnesia historis tidak terjadi karena ketidaksengajaan. Seperti revolusi yang kerap muncul tanpa desain, generasi ini hadir bukan karena mereka memilih, tetapi karena mereka terlempar dan hanyut di dalamnya.

Mereka berada di masa yang memaksa mereka untuk melupakan akar, mengabaikan warisan, dan menciptakan sejarah mereka sendiri dari serpihan yang tak pernah benar-benar utuh. Slogannya: “kami perintis; bukan pewaris”.

Digitalisasi, meski tampak megah dan mewah, tapi di sisi lain telah meruntuhkan etika tradisional.

Nilai-nilai lama tergantikan oleh "kebenaran" baru yang mereka sulam dari benang-benang fragmen virtual.

Hubungan-hubungan manusia kehilangan kedalaman; interaksi menjadi transaksional. Mereka tidak lagi hidup dalam dunia yang berlapis, melainkan dalam dunia datar yang cepat berlalu—sekilas saja muncul, lalu menghilang.

Optimisme, yang pada masa lalu adalah bahan bakar perubahan, kini tergantikan oleh pesimisme yang menguap di balik meme dan ironi.

Kelelahan, yang dulu dianggap musuh, kini berubah menjadi kebiasaan hidup. "Magar" bukan hanya sikap; ia adalah kapital yang menghasilkan.

Absurdnya dalam semua ini, ada kesunyian yang tak terucapkan—kesunyian dari generasi yang kehilangan makna, bahkan dalam geraknya sendiri.

Mereka membangun dunia baru di atas puing-puing yang tak lagi dimengerti, dan bahkan tidak perlu merasa harus dimengerti, oleh generasi sebelumnya.

Para orang tua hanya bisa menggelengkan kepala, menyaksikan dengan getir bagaimana anak-anak mereka menciptakan pola hidup yang terputus dari akar sejarah.

Sementara Generasi Z ini, di sisi lain, tidak peduli. Bagi mereka, pertanyaan seperti "kenapa harus mengikuti jejak masa lalu?" terasa seperti statemen kosong yang tidak perlu.

Perilaku membaca, dulu tindakan yang sarat makna, kini tergerus oleh budaya instan. Buku tidak lagi menjadi jendela pengetahuan, melainkan sekadar pengingat dari masa yang mereka anggap usang.

Informasi melompat-lompat, tetapi tidak pernah menetap. Pikiran mereka sibuk melayang, tetapi jarang tenggelam.

Generasi ini memang telah memilih jalan mereka—jalan instan, cepat, dan dangkal. Apa yang mereka konsumsi bukanlah hasil renungan mendalam, tetapi produk yang bisa diakses tanpa usaha.

Segelas kopi instan lebih dari cukup menemani diskusi yang sekadar bersifat sementara. Dan mereka, dalam banyak hal, tak lagi mencari orisinalitas. Yang mereka cari hanyalah cara untuk bertahan, meskipun tanpa akar.

Akibatnya, dalam lingkup mereka sendiri ada kehampaan yang merayap. Budaya instan mungkin memberi ilusi solusi, tetapi di dalamnya tidak ada kedalaman.

Mereka tidak merasa perlu menabung pengetahuan, karena bagi mereka, sejarah hanyalah kelebihan beban di dunia yang sudah terlalu padat dengan informasi.

Lalu, apakah generasi ini sebuah tragedi? Ataukah mereka hanyalah wujud lain dari perubahan zaman yang tak terelakkan? Kita tidak tahu. Yang jelas, kesinambungan historis tidak lagi menjadi fondasi bagi peradaban mereka. Dan mungkin, gagasan itu sendiri sudah mati.

Generasi Z tidak butuh saksi. Mereka tidak peduli apakah dunia lama memahami atau menyetujui.

Mereka tengah menulis sejarah mereka sendiri, meski dengan tinta yang pudar dan lembaran yang mungkin segera terbakar. Apakah itu akan menjadi tragedi atau kemenangan, hanya waktu yang bisa menjawab.

Namun, sepertinya ada sesuatu yang menggantung di udara— kesadaran samar bahwa mungkin, di masa depan, tidak akan ada yang tersisa untuk diceritakan.

Hanya jejak yang terlupakan, tertelan oleh waktu. Dan ketika semua ini terjadi, barangkali kita hanya bisa menundukkan kepala, menyadari bahwa sejarah yang hilang itu seperti waktu yang tak pernah kembali.

Artikel ini ditulis oleh:
Dr. Tantan Hermansah, S.Ag., M.Si.
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dirilis di www.kompas.com
Pada tanggal 22 Januari 2025
(Foto oleh: rmjabar.com)