Etika Publik dan Krisis Kepercayaan
Prof. Asep Saepudin Jahar, Ph.D.
Hari ini, 14 Oktober, dunia memperingati World Standards Day — hari yang setiap tahun mengingatkan pentingnya “standar” dalam kehidupan modern: dari teknologi, keamanan pangan, hingga tata kelola pemerintahan.
Namun di balik perayaan itu, ada pertanyaan yang lebih mendasar: apakah bangsa ini juga memiliki standar moral publik yang jelas — bukan hanya standar teknis dan prosedural?
Kita hidup di zaman di mana kepercayaan menjadi mata uang paling langka.
Survei OECD Trust in Government Report 2024 menunjukkan tren penurunan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga publik di banyak negara, termasuk negara-negara demokratis.
Faktor penyebabnya beragam: polarisasi politik, korupsi, disinformasi, dan jarak psikologis antara warga dan pemerintah.
Fenomena ini bukan hanya gejala politik, tetapi gejala moral: masyarakat kehilangan standar bersama untuk membedakan yang benar dan yang salah, antara pelayanan publik dan kepentingan pribadi.
Inilah era yang oleh banyak ilmuwan disebut sebagai post-truth age — zaman ketika kebenaran dikalahkan oleh narasi, dan kepercayaan berganti dengan kecurigaan.
Max Weber, dalam kuliah terkenalnya Politics as a Vocation (1919), pernah mengingatkan: “Negara modern hidup bukan dari kekerasan, tapi dari legitimasi.”
Artinya, kekuasaan bertahan bukan karena kuat, tetapi karena dipercaya.
Dan kepercayaan itu lahir bukan dari propaganda, melainkan dari konsistensi etika publik.
Standar Moral Negara Modern
Negara modern tidak bisa hidup dari hukum semata.
Ia membutuhkan ruh moral yang menjadi dasar semua kebijakan.
Tanpa itu, hukum menjadi sekadar alat kontrol, bukan jalan keadilan.
John Rawls, dalam A Theory of Justice (1971), menulis bahwa keadilan adalah “the first virtue of social institutions.” Bila keadilan hilang, seluruh sistem kehilangan makna moralnya, betapapun efisien ia bekerja.
Di Indonesia, kita sering memuja “aturan” tetapi melupakan “niat etik” di balik aturan itu.
Kita sibuk menyusun regulasi, tetapi tidak memastikan apakah pelakunya berjiwa adil. Padahal, kata Al-Mawardi dalam Adab al-Dunya wa al-Din, “Keadilan adalah dasar negara; bila ia runtuh, seluruh bangunan kekuasaan akan rapuh, betapapun kuat temboknya.”
Prinsip itu sejalan dengan spirit al-‘adl wa al-ihsan dalam al-Qur’an (QS. An-Nahl: 90): Allah memerintahkan keadilan dan kebaikan. Al-‘adl menjaga keseimbangan sosial; al-ihsan melampaui keadilan dengan kemurahan hati.
Itulah dua pilar standar moral publik yang seharusnya menggerakkan pemerintahan, dunia kampus, dan kehidupan sosial kita.
Dalam bahasa Weberian, etika publik bukanlah “moralitas pribadi yang dibawa ke kantor,” tetapi kesadaran bahwa setiap keputusan administratif memiliki dampak moral terhadap keadaban publik.
Seorang rektor, hakim, dokter, atau pejabat publik tidak hanya diukur dari hasil kerja, tetapi dari integritas niat dan prosesnya.
Sayangnya, yang sering terjadi justru kebalikannya: publik melihat tumpukan prosedur, tetapi jarang menemukan kejujuran.
Francis Fukuyama, dalam Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity (1995), menegaskan bahwa masyarakat dengan tingkat kepercayaan tinggi akan melahirkan pertumbuhan ekonomi yang sehat, sedangkan masyarakat dengan defisit moral publik akan terjebak dalam “biaya sosial” yang tinggi — pengawasan berlebihan, kecurigaan administratif, dan kehilangan efisiensi kolektif.
Standar moral publik bukanlah idealisme kosong. Ia adalah infrastruktur tak kasatmata yang membuat negara berjalan tanpa rasa takut, karena warga dan pemerintah saling percaya.
Dari Etika ke Teladan
Dalam masyarakat digital, moral publik tidak hanya dibangun lewat institusi, tapi juga melalui teladan.
Di era keterbukaan informasi, kejujuran tidak bisa disembunyikan, dan kebohongan tidak bisa dilestarikan.
Maka, tanggung jawab terbesar justru berada di pundak mereka yang memegang otoritas — termasuk kami di dunia akademik.
Sebagai rektor, saya sering mengingatkan diri bahwa memimpin kampus berarti menjadi bagian dari ekosistem moral.
Kampus bukan hanya tempat berpikir, tetapi tempat membangun habitus etik: disiplin, transparansi, dan penghormatan terhadap ilmu.
Jika universitas kehilangan integritas, maka generasi berikutnya akan kehilangan arah moral.
Etika publik, dengan demikian, bukan tugas Kementerian Agama atau BPIP semata; ia adalah tanggung jawab kolektif setiap profesi dan pemimpin moral.
Sama seperti di masa klasik Islam ketika para hakim (qadhi) atau mufti bukan hanya memutus perkara, tapi juga menjadi contoh adab sosial bagi masyarakatnya. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menyebut, “Peradaban berdiri di atas akhlak; jika akhlak rusak, kekuasaan menjadi beban, bukan rahmat.”
Kata-kata itu terdengar klasik, tetapi justru menjadi sangat modern dalam konteks hari ini.
Kita membangun jalan tol, gedung tinggi, kecerdasan buatan, tetapi sering lupa membangun kecerdasan moral — kemampuan menimbang bukan hanya mana yang legal, tapi mana yang layak.
Dalam etika sosial Islam, dikenal prinsip maslahah (kemaslahatan) yang melampaui kepentingan pribadi.
Etika publik berarti menempatkan keputusan pada maslahah ‘ammah (kepentingan umum), bukan pada keuntungan sempit.
Maka pejabat publik, dosen, atau rektor yang membuat kebijakan, sejatinya sedang menulis lembar moral bangsa.
Krisis kepercayaan bukan karena rakyat terlalu kritis, tetapi karena pemimpin terlalu jarang memberi alasan untuk dipercaya.
Dan pemulihannya tidak memerlukan kampanye besar-besaran, cukup konsistensi kecil setiap hari — antara ucapan dan tindakan, janji dan kenyataan.
Refleksi: Menyembuhkan Kepercayaan
Bangsa yang besar bukanlah bangsa tanpa konflik, melainkan bangsa yang memiliki standar moral untuk menyelesaikannya.
Etika publik adalah standar itu: ia menjadi kompas di tengah perubahan, pengingat di tengah ambisi, dan cahaya di tengah kabut kepentingan.
Hari Standar Dunia seharusnya tidak hanya mengingatkan kita pada kualitas produk, tapi pada kualitas nurani publik.
Negara tanpa etika ibarat tubuh tanpa jantung: bisa bergerak, tapi tak punya denyut moral.
Di dunia pasca-kebenaran, tantangan kita bukan sekadar melawan hoaks, tapi memulihkan rasa percaya — bahwa pejabat bekerja untuk rakyat, akademisi meneliti demi kebenaran, dan warga berbicara demi kebaikan.
Dalam istilah Al-Ghazali, kepercayaan (amanah) adalah fondasi semua hubungan sosial; tanpa itu, dunia akan dipenuhi ketakutan. Dan sebagaimana dikatakan oleh Jurgen Habermas dalam The Theory of Communicative Action (1984), “Legitimasi sosial hanya lahir ketika masyarakat percaya bahwa tindakan publik didasarkan pada komunikasi yang jujur dan niat baik.”
Artinya, politik, hukum, dan ilmu hanya akan bermakna jika berakar pada kejujuran.
Kejujuran itu mungkin tampak sederhana, tapi di situlah letak kekuatan moral bangsa.
Mari jadikan Hari Standar Dunia ini sebagai momen menata kembali standar moral kita: bahwa kemajuan tidak diukur dari berapa banyak regulasi disahkan, tapi dari sejauh mana etika dijalankan; bahwa kepercayaan publik bukan hasil kampanye, melainkan buah dari ketulusan yang konsisten.
Bangsa ini tidak kekurangan undang-undang, hanya kekurangan keteladanan.
Dan mungkin, sebagaimana pesan Nabi Muhammad saw., “Pemimpin kalian adalah cerminan kalian.” Maka bila kita ingin negeri ini dipercaya, kita semua harus mulai menjadi pribadi yang dapat dipercaya.
Artikel ini telah dipublikasikan di kolom opini Disway.id, Selasa, 14 Oktober 2025