#CeritaMahasiswa: Dila Lutfia Savira Menembus Gelap dengan Suara yang Bercerita
Jakarta, Berita UIN Online - Suara itu melengkung lembut di udara, memenuhi ruangan kecil di tengah hiruk-pikuk kegiatan kampus. Tidak ada yang menyangka, di balik lantunan nada yang merdu itu, ada sepasang mata yang tak lagi melihat cahaya. Ia bernyanyi bukan untuk didengar semata, tetapi untuk merasakan tentang hidup, perjuangan, dan keberanian menembus batas yang tak kasat mata.
Setiap langkah Dila Lutfia Safira adalah kisah tentang ketabahan. Mahasiswi Kesejahteraan Sosial semester lima ini menjalani hari-harinya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan penuh semangat. Di tengah rutinitas kuliah, ia tetap hadir sebagai pribadi yang hangat, mandiri, dan tekun menuntaskan setiap tanggung jawab akademiknya. Langkahnya mungkin lebih pelan, tetapi keyakinannya tidak pernah surut. Ia percaya bahwa setiap perjalanan yang ditempuh dengan niat baik akan sampai pada tujuannya.
Perjumpaan Dila dengan dunia kesejahteraan sosial berawal dari keinginan untuk memahami manusia dan lingkungan sekitarnya. Sejak awal kuliah, ia menyadari bahwa jurusan ini membantunya melihat banyak hal dari sudut yang berbeda. Melalui berbagai mata kuliah dan kegiatan, Dila belajar mengenal nilai empati, kepedulian, serta tanggung jawab sosial yang menjadi dasar dari ilmu kesejahteraan sosial. Perlahan, ia merasa cocok dengan bidang ini karena sesuai dengan minatnya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan dan kehidupan sosial di masyarakat.
Dalam kesehariannya, Dila mengikuti perkuliahan dengan antusias, baik secara luring maupun daring. Ia menikmati proses diskusi di kelas dan berusaha memahami setiap materi dengan caranya sendiri. Dila percaya bahwa setiap ilmu yang ia pelajari kelak akan berguna untuk membantu orang lain, terutama kelompok yang membutuhkan perhatian lebih. Baginya, menjadi mahasiswa kesejahteraan sosial bukan sekadar menimba ilmu, tetapi juga belajar memahami realitas sosial dan berlatih peka terhadap persoalan di sekitar.
Di luar kesibukan kuliah, Dila memiliki dunia yang tak kalah bermakna, yaitu musik. Sejak kecil, melodi dan lirik menjadi bahasanya dalam menyampaikan perasaan. Ia belajar menyanyi bukan untuk mencari sorotan, melainkan untuk menyalurkan sesuatu yang lebih dalam. Musik membuatnya bebas, memberi ruang untuk mengekspresikan diri, sekaligus menjadi jembatan antara dirinya dan dunia di sekelilingnya. Dari setiap lagu yang ia nyanyikan, mengalir ketulusan dan keberanian yang menyentuh siapa pun yang mendengarnya.
Kecintaannya pada musik tumbuh sejak duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu, ia sering bernyanyi di rumah hingga orang tuanya menyadari bahwa putrinya memiliki suara yang khas. Ketika beranjak SMP, Dila mulai bergabung dalam kegiatan band di sekolah dan belajar teknik vokal secara lebih terarah. Dari situlah kepercayaan dirinya tumbuh. Ia mulai berani tampil di depan umum, membawakan lagu-lagu pop dan R&B yang menjadi genre favoritnya. Penyanyi seperti Ziva Magnolya dan Adele menjadi sosok yang ia kagumi karena mampu menyampaikan emosi lewat nada yang sederhana namun kuat—sesuatu yang juga ia rasakan setiap kali bernyanyi.
Bagi Dila, menyanyi bukan sekadar menyalurkan hobi, melainkan juga menjadi cara untuk berbicara dengan dunia. Karena tidak bisa melihat, suara menjadi medium utamanya dalam mengekspresikan perasaan dan mengenali diri. Melalui lagu, ia bisa menyampaikan apa yang sulit diucapkan dengan kata-kata: rasa syukur, sedih, dan harapan yang tak pernah padam. Setiap kali bernyanyi, ia merasa lebih hidup, seolah suara itu adalah bentuk lain dari penglihatan yang membantunya memahami keindahan dunia.
Ketika berada di atas panggung, Dila menjelma menjadi pribadi yang berbeda. Ia tidak lagi seorang mahasiswi yang berjuang memahami dunia tanpa penglihatan, melainkan seorang seniman yang menyatu dengan suaranya. Setiap nada yang keluar dari bibirnya membawa pesan kehangatan, seolah mengingatkan bahwa keterbatasan tidak pernah bisa menutup jalan menuju mimpi. Banyak yang terinspirasi darinya, bukan karena kasihan, tetapi karena melihat keyakinan yang begitu tulus terpancar dari dirinya.
Perjalanan akademik tentu tidak selalu mudah. Namun, Dila memilih untuk fokus pada hal-hal yang membuatnya berkembang. Ia belajar menyesuaikan diri, mencari cara baru untuk memahami materi, dan berinteraksi aktif dalam setiap proses pembelajaran. Teman-teman dan dosen menjadi bagian penting dari perjalanannya, hadir sebagai dukungan yang membuatnya tidak pernah merasa sendiri. Di lingkungan yang penuh semangat kebersamaan inilah Dila belajar arti sesungguhnya dari inklusivitas, bahwa ruang belajar adalah tempat di mana setiap mahasiswa memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh.
Dila juga bersyukur karena dukungan keluarga selalu mengiringinya. Dari merekalah ia belajar bahwa keterbatasan bukan penghalang, melainkan cara lain untuk mengenali potensi diri. Di setiap tantangan, Dila memilih untuk melihat sisi baiknya, menjadikannya kesempatan untuk belajar, beradaptasi, dan membuktikan bahwa kekuatan sejati datang dari dalam diri sendiri.
Semua perjalanan itu membuat Dila semakin yakin bahwa setiap orang memiliki cara masing-masing untuk berjuang dan bersyukur atas kehidupannya. Setiap langkah yang ia ambil, sekecil apa pun, selalu menjadi bagian dari usahanya untuk bertumbuh dan memberi makna bagi orang lain.
Kini, Dila terus menapaki langkah-langkah kecilnya di kampus, menyelesaikan tugas, bernyanyi, dan menebar inspirasi. Dalam dirinya ada ketenangan yang lahir dari penerimaan dan cahaya yang tumbuh dari rasa syukur. Ia percaya bahwa meski tidak semua orang bisa melihat dengan mata, setiap orang bisa belajar melihat dengan hati.
Dari hati yang tabah itulah, Dila Lutfia Safira membiarkan suaranya bercerita tentang keberanian, tentang syukur, dan tentang bagaimana seseorang bisa bersinar bahkan tanpa cahaya.
(Kareena Auliya J./Fauziah M./Zaenal M./Muhamad Arifin Iham)
