Seminar Internasional FDI: Identitas Islam Moderat Harus Makin Ditegaskan

Seminar Internasional FDI: Identitas Islam Moderat Harus Makin Ditegaskan

Auditorium Utama, BERITA UIN Online— Masyarakat Muslim Indonesia perlu menegaskan kembali identitasnya sebagai masyarakat muslim moderat (wasathiyah) sehingga bisa merangkul pihak-pihak berbeda sekaligus menerima fakta keberagamaan yang plural. Ini diperlukan di tengah makin kuatnya arus fundamentalisme dan liberalisme penafsiran dan praktik keislaman.

Demikian simpulan pembukaan Seminar Internasional Moderasi Islam yang diselenggarakan Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) UIN Jakarta dan Ikatan Alumni Universitas Al-Azhar Cabang Indonesia, Selasa (01/09). Seminar bertajuk Moderasi Asas Keluhuran: Upaya Merumuskan Karakter Pemikiran Islam dalam menghadapi Tantangan Dunia Modern direncanakan berlangsung Selasa-Kamis (01-03 September).

Hadir sebagai narasumber beberapa cendekiawan muslim dari berbagai negara seperti Dr Ahmad bin Yahya al-Kindi (Oman), Dr Muhammad Muhammad Isa (Mesir), Prof Dr Huzaemah Tahido Yanggo (Indonesia). Turut menghadiri kegiatan, Rektor Prof Dr Dede Rosyada MA, Ketua Umum Alumni Al-Azhar wilayah Indonesia Prof Dr Quraish Shihab MA, Naib Rais al-Azhar University Dr Abd as-Syafi’i Ismail, dan Dekan FDI Dr Hamka Hasan MA.

“Untuk menghadang efek negatif dari kedua kecenderungan tersebut, perlu ditegaskan dan diteguhkan kembali paham moderat yang mampu merangkul dan menerima setiap sisi kehidupan keberagamaan,” ungkap Hamka dalam keterangan tertulis yang dikutip BERITA UIN Online.

Merujuk kondisi belakangan ini, sambungnya, kehidupan sebagian masyarakat muslim Indonesia mengarah kepada kecenderungan paham radikalisme fundamentalis literalis dan liberalisme sekularis. Kecenderungan pertama terlihat pada sebagian umat Islam yang bersikap ekstrim dalam memahami hokumagama sambil mencoba memaksakan cara tersebut dengan menggunakan kekerasan di tengah masyarakat Muslim.

Adapun kecenderungan kedua, terlihat pada sikap longgar secara ekstrim dalam kehidupan beragama dan tunduk pada perilaku dan pemikiran yang asing bila dilihat dari pertumbuhan tradisi Islam.

Corak penafsiran agama radikal fundamental setidaknya ditandai empathal. Pertama, sikap tidak toleran, yaitu tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik, yakni selalu merasa benar sendiri, menganggap orang lain salah. Ketiga, sikap eksklusifdengan membedakan diri dari umat Islam pada umumnya. Keempat, sikap revolusioner, yaitu cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan. Sedang dua terakhir yaitu memahami teks keagamaan secara teksual dan parsial dan mengabaikan nilai-nilai modernitas Islam.

Apaun penafsiran agama liberal muncul sebagai bentuk penafsiran atas ajaran Islam dengan beberapa landasan. Pertama, membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam. Kedua, mengutamakan semangat religio-etik, bukan makna literal teks. Ketiga. mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural. Keempat, memihak pada yang minoritas dan tertindas. Kelima, meyakini kebebasan beragama. Keenam, memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.

Islam Moderat

Sementara itu, moderat (washatiyah) dalam konteks identitas muslim Indonesia ini adalah keseimbangan di antara dua sisi yang sama tercelanya, baik ‘kiri’ maupun ‘kanan’, yakni berlebihan (ghulu) dan keacuhan (taqshir), literal dan liberal. Sikap ini seperti sifat dermawan yang berada di antara sifat pelit (taqtir/bakhil) dan boros tidak pada tempatnya (tabdzir).

“Karena itu, kata wasath biasa diartikan dengan ‘tengah’. Dalam sebuah hadis Nabi, ummatan wasathan ditafsirkan dengan ummatan ‘udulun,” tambah Hasan.

Terdapat beberapa prinsip moderatisme dalam memahami teks. Pertama, memahami agama secara menyeluruh (komprehensif), seimbang (tawazun), dan mendalam. Kedua, memahami realitas kehidupan secara baik. Ketiga, memahami prinsip-psrinsip syariah (maqashid asy-syari’ah) dan tidak jumud pada tataran lahir. Keempat, terbuka dan memahami etika berbeda pendapat dengan kelompk-kelompok lain yang seagama, bahkan luar agama, dengan senantiasa “mengedepankan kerja sama dalam hal-hal yang disepakati dan bersikap toleran pada hal-hal yang diperselisihkan”.

Kelima, menggabungkan antara “yang lama” (al-ashalah)  dan “yang baru” (al-mu’asharah). Keenam, menjaga keseimbangan antara tsawabit dan mutaghayyirat. Tsawabit dalam Islam sangat terbatas, seperti prinsip-prinsip akidah, ibadah (rukun Islam), akhlak, hal-hal yang diharamkan secara qath’I (zina, qatl, riba, dan selainnya). Mutaghayyirat: hukum-hukum yang ditetapkan dengan nash yang zhanni (tsubut atau dilalah). Dan ketujuh, cenderung memberikan kemudahan dalam beragama.

Sikap moderat dalam beragama ini  sangat cocok dengan karakter masyarakat Indonesia yang plural dan demokratis. Diketahui, kendati jadi agama mayoritas, agama Islam tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat Indonesia yang multikultural. Di negeri ini berbagai agama, tradisi, hadir, hidup, tumbuh dan berkembang. Islam itu sendiri kemudian menjadi bagian dari wajah multikultural Indonesia itu. Karenanya pemahaman keagamaan yang moderat menemukan urgensi dan momentumnya di Indonesia. (ZM)